Jakarta –
LPSK mengungkapkan, selama 2022, kejahatan seksual banyak terjadi di lingkup sekolah. Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek Rusprita Putri Utami menegaskan pihaknya berkomitmen kuat untuk menghapus maraknya kekerasan seksual di sekolah.
“Hal ini penting mengingat dampak negatif kekerasan seksual dapat bersifat jangka panjang dan memengaruhi proses belajar serta aktualisasi diri dari peserta didik,” ujar Rusprita dalam keterangan tertulisnya, Rabu (18/1/2023).
Rusprita menyebut Kemendikbudristek juga telah mengambil langkah strategis dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual khususnya di lingkungan perguruan tinggi. Yakni dengan menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Lalu, untuk mempercepat implementasi Permendikbudristek itu, pihaknya juga telah menyusun Pedoman Pelaksanaan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 melalui Peraturan Sekretaris Jenderal tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Pedoman inibisa diakses di
https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/peraturan/.
Selanjutnya, Rusprita mengatakan pedoman itu memuat penjelasan prinsip-prinsip pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, panduan pencegahan, serta panduan teknis pemilihan panitia seleksi (pansel) dan satuan tugas (satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Kemudian, penanganan kekerasan seksual, dan instrumen evaluasi pelaksanaan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.
“Dari pemantauan yang dilakukan, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi ini cukup efektif dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual di perguruan tinggi. Terbukti, setelah diterbitkannya Permendikbudristek ini, para korban kekerasan seksual berani berbicara dan melaporkan tindakan kekerasan yang mereka alami, dan beberapa pelaku yang terbukti bersalah telah mendapatkan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan,” ungkap Rusprita.
Lebih lanjut, Rusprita menekankan bahwa upaya memerangi kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tidak bisa hanya dilakukan oleh Kemendikbudristek saja. Hal ini katanya perlu melibatkan pihak terkait lainnya.
“Kekerasan seksual merupakan kekerasan yang paling berdampak bagi korban tetapi paling sulit dibuktikan, sehingga tidak dapat dipandang sebelah mata. Kekerasan seksual menjadi salah satu fokus komitmen Kemendikbudristek dan tentu ini menjadi pekerjaan besar kita bersama,” ujar Rusprita.
Sebelumnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai kejahatan seksual di Indonesia kian memprihatinkan. Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan kasus ini perlu mendapat atensi khusus oleh berbagai pihak.
“LPSK menilai bahwa kejahatan seksual yang terjadi di wilayah Indonesia sudah sangat masif sehingga atensi perlu diberikan secara khusus atas kasus-kasus tindak kekerasan seksual,” kata Hasto dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (16/1).
Terutama, kata Hasto, kejahatan seksual yang terjadi di sekolah. Tindak kejahatan itu terbanyak terjadi di sekolah berbasis asrama.
“Utamanya yang terjadi di sekolah-sekolah atau fasilitas-fasilitas berbasis asrama dengan jumlah korban cukup banyak. Di antaranya sekolah-sekolah umum maupun sekolah berbasis agama. Ini banyak mengalami kasus kekerasan seksual ini,” tutur Hasto.
Lebih lanjut Hasto menjelaskan permohonan perlindungan kasus kekerasan seksual terhadap anak meningkat pada 2022. Kenaikan itu mencapai 25,82 persen.
“Pada 2022, LPSK menerima 536 terkait permohonan kasus kekerasan seksual terhadap anak, yang ini naik menjadi 25,82 persen jika dibanding dengan permohonan tahun 2021 sebesar 426 (permohonan),” kata dia.
(azh/imk)