UU Ketenagakerjaan yang sudah direvisi sebagian oleh Perppu Cipta Kerja menjadi aturan yang menjadi penengah sengketa buruh dan pemberi upah. Nah, salah satunya dipegang pegawai BUMD di Gorontalo.
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik’s Advocate lewat surat elektronik ke kami. Pembaca detikcom juga bisa mengajukan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Berikut pertanyaan lengkapnya:
Hallo detik’s Advocate
Assalamualaikum wr wb, saya dari Provinsi Gorontalo (identitas disamarkan).
Sebelumnya saya ingin konsultasi permasalahan perselisihan hubungan industrial dan penegakan hukum ketenagakerjaan yang sedang saya alami saat ini.
Pertama saya bekerja di suatu perusahaan pelat merah atau Badan Usaha Milik Daerah di Kab Gorontalo Provinsi Gorontalo dengan masa percobaan selama 6 bulan. Selanjutnya diangkat sebagai pekerja kontrak dengan status sebagai PKWT selama 1 tahun.
Di akhir PKWT kontrak saya tidak diperpanjang, meskipun tanpa ada alasan yang jelas pemutusan sepihak. Sebab selama bekerja saya tidak pernah mendapat sanksi tindakan displin yang biasanya diberi peringatan pertama dan terakhir.
Sebelumnya saya juga telah membaca tulisan Detik’s Advocate (https://www.google.com/amp/s/news.detik.com/berita/d-5764611/bisakah-saya-pidanakan-perusahaan-berbarengan-dengan-gugatan-ke-phi/amp) terbitan rabu 13 Oktober 2021.
Pertanyaan:
1. Selama proses perselisihan dengan perusahaan pelat merah tersebut, pada awal kontrak PKWT dibuat dan saya turut menandatangani karena keadaan terpaksa. Apakah suatu perjanjian tersebut masih dapat dikatakan sah ?
Meskipun di tengah jalan aduan saya tentang adanya penyimpangan pengangkatan kontrak ke pengawas ketenagakerjaan Disnaker Provinsi Gorontalo telah dibuktikan dengan adanya Nota Pemeriksaan ke satu dan kedua, di mana telah terjadi perbuatan melawan hukum dan diperintahkan agar perusahaan memperbaiki.
2. Proses pengakkan hukum;
Penanganan perkara pidana ketenagakerjaan biasanya digunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Selama proses pengawasan dan penegakan hukum oleh petugas di Disnaker Prov Gorontalo tidak menunjukan progres kemajuan, yang pada akhirnya pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari meskipun adanya Nota Pemeriksaan tadi.
Pertanyaannya, dapatkah suatu proses penegakan hukum di daerah tersebut dialihkan kewenangan penanganannya ke tingkat pusat (Kementrian Ketanagakerjaan RI) ? Sebelumnya, Direktorat Jendral Binwasnaker & K3 Kemenaker RI telah juga melakukan pemantauan terhadap kasus ini. (Lampiran foto surat Dirjen Kemnaker RI)
3. Berkaitan dengan masalah di atas, saya memiliki dua aduan. Pertama, nota pemeriksaan diterbitkan oleh pengawas namun tidak diindahkan oleh perusahaan sehingga dilimpahkan ke PPNS Ketenagakerjaan.
Kedua, saya telah mencatatkan PPHI ke mediator Disnaker namun tidak mencapai kesepakatan selama 1 bulan di tingkat mediasi.
Pertanyaannya, manakah yang paling tepat didahulukan apakah proses pidana ketenagakerjaan tadi yg sedang diproses oleh PPNS Ketenagakerjaan dan menunggu hasilnya atau diajukan gugatan PMH ke Pengadilan Hubungan Industrial setelah serangkaian mediasi oleh mediator tripartit tadi tidak mencapai kesepakatan. Apabila digugat perdatanya atas dasar gugatan PMH dapat menggugurkan proses pidananya yang sedang ditangani oleh petugas PPNS ?
Dari permasalahan diatas selama ini pengadilan (khusus di Prov. Gorontalo) jarang ditemukan menyidangkan kasus-kasus sengketa perburuhan yang berkaitan dengan badan usaha milik daerah. Dengan adanya kasus ini menjadi sangat ironi karena instrumen ditubuh BUMD ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui mekanisme DPRD, tapi perusahaan milik daerah itu sendiri malah melanggarnya.
Mohon identitas kami ini disamarkan bapak/ibu admin Detik’s Advocate baik identitas pada tulisan ini dan di dalam surat Dirjen Kemnaker RI.
Terima kasih.