Jakarta –
Kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pabrik Blast Furnace Complex (BFC) oleh PT Krakatau Steel (KS) pada tahun 2011 segera disidangkan. Berkas perkara untuk lima tersangka hari ini dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Serang oleh tim Kejaksaan Agung didampingi tim dari Kejari Cilegon.
“Betul (hari ini pelimpahan), iya pelimpahan yang (perkara) KS,” kata Kasi Intel Kejari Cilegon Atik Ariyosa dikonfirmasi, Serang, Rabu (15/2/2023).
Lima orang tersangka dalam perkara ini adalah inisial FB mantan Direktur Utama PT KS periode 2007-2012, ASS selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering periode 2005-2010 dan Deputi Direktur Proyek Strategis 2010-2015. Ketiga tersangka BP selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering periode 2012-2015.
Kemudian HW alias RH selaku Ketua Tim Persiapan dan Implementasi Proyek Blast Furnace tahun 2011 dan General Manager Proyek PT KS dari Juli 2013 sampai dengan Agustus 2029. Terakhir adalah tersangka MR selaku Project Manager PT Krakatau Engineering periode 2013 sampai dengan 2016.
Setelah pelimpahan berkas penuntut umum nanti menunggu penetapan sidang. Penetapan nanti akan dilakukan oleh Pengadilan Tipikor Serang.
“Penetapan belum kapan penetapan waktu sidangnya,” ujarnya.
Diberitakan detikcom sebelumnya, kasus ini bermula saat PT KS melakukan pengadaan pembangunan BFC yaitu pabrik proses produksi besi cair menggunakan bahan bakar batu bara. Pembangunan dilakukan untuk memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi murah karena menggunakan bahan bakar gas.
Pembangunan BFC tersebut awalnya disetujui Direksi PT KS pada tahun 2007 dengan kontraktor pemenang adalah MCC CERI konsorsium dan PT Krakatau Engineering. PT Krakatau Engineering merupakan anak usaha PT KS.
Kapasitas pembangunan pabrik BFC dengan bahan bakar batubara ini mencapai 1,2 juta ton/tahun hot metal. Diduga telah terjadi penyimpangan dalam proses pelaksanaan, tender/lelang, kontrak, dan pelaksanaan pembangunan.
“Namun pengadaan tersebut dilakukan secara melawan hukum, yang seharusnya MCC CERI melaksanakan pembangunan sekaligus pembiayaannya. Namun pada kenyataannya dibiayai oleh konsorsium dalam negeri atau himbara,” kata Jaksa Agung ST Burhanudin pada Senin (18/7/2022) lalu.
Awalnya nilai kontrak pembangunan pabrik BFC dengan sistem terima jadi sesuai dengan kontrak awal yaitu Rp 4,7 triliun. Namun hingga addendum ke-4 membengkak menjadi Rp 6,9 triliun.
“Selanjutnya hasil pekerjaan saat ini tidak dapat dimanfaatkan, ini sama sekali mangkrak, karena tidak layak serta terdapat pekerjaan yang belum diselesaikan,” kata Jaksa Agung.
Jaksa Agung mengatakan dugaan kerugian keuangan negara dalam perkara ini sebesar Rp 6,9 triliun. Ini sesuai dengan pembiayaan yang dikeluarkan oleh konsorsium himbara.
(bri/yld)