Jakarta –
Kasi Intelijen Kejari Cilegon Atik Ariyosa mengatakan berkas barang bukti kasus korupsi pembangunan pabrik Blast Furnace Complex (BFC) PT Krakatau Steel tahun 2011 yang merugikan negara Rp 6,9 triliun mencapai 50 box kontainer. Berkas itu sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Serang.
“Jumlah barang bukti yang dilimpahkan pada perkara proyek pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel sebanyak 50 kontainer box plastic,” kata Atik Ariyosa, Serang, Rabu (15/2/2023).
Penyerahan yang dilakukan dihadiri tim Jaksa Penuntut Umum sesuai surat P-16 A dengan menyerahkan berkas perkara atas kelima terdakwa. Termasuk barang buktinya yang diterima oleh Panitera Muda Tipikor pada Pengadilan Negeri Serang.
Dalam pelimpahan berkas ini berdasarkan Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa (P-31) Kepala Kejari Cilegon. Kelima terdakwa adalah FB mantan Direktur Utama PT KS periode 2007-2012, ASS selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering periode 2005-2010 dan Deputi Direktur Proyek Strategis 2010-2015. Ketiga tersangka BP selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering periode 2012-2015.
Kemudian HW alias RH selaku Ketua Tim Persiapan dan Implementasi Proyek Blast Furnace tahun 2011 dan General Manager Proyek PT KS dari Juli 2013 sampai dengan Agustus 2029. Terakhir adalah tersangka MR selaku Project Manager PT Krakatau Engineering periode 2013 sampai dengan 2016.
Penuntut umum tinggal menunggu penetapan sidang yang dilakukan oleh pengadilan. “Penetapan belum, kapan penetapan waktu sidangnya,” ujarnya.
Pembangunan BFC adalah pabrik yang memproduksi besi cair menggunakan batu bara. Pada 2007 pembangunan ini disetujui oleh Direksi Krakatau Steel dengan pemenang kontrak MCC Ceri konsorsium dan PT Krakatau Engineering sebagai anak KS.
Kontrak awal pembangunan Pabrik BFC awalnya Rp 4,7 triliun. Namun hingga addendum ke-4 malah membengkak menjadi Rp 6,9 triliun. Diduga ada penyimpangan para proses pelaksanaan, tender, kontrak hingga pembangunan pabrik.
“Namun pengadaan tersebut dilakukan secara melawan hukum, yang seharusnya MCC CERI melaksanakan pembangunan sekaligus pembiayaannya. Namun pada kenyataannya dibiayai oleh konsorsium dalam negeri atau himbara,” kata Jaksa Agung ST Burhanudin pada Senin (18/7/2022) lalu.
“Selanjutnya hasil pekerjaan saat ini tidak dapat dimanfaatkan, ini sama sekali mangkrak, karena tidak layak serta terdapat pekerjaan yang belum diselesaikan,” kata Jaksa Agung.
(dwia/dwia)