Jakarta –
Notaris Hartono meminta kewenangan jaksa yang boleh Peninjauan Kembali (PK) di UU Kejaksaan dihapus. Sebab hal itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan putusan MK sendiri. MK menilai permohonan itu sudah baik.
Hartono mengajukan judicial review Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan yang berbunyi:
Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 30B Kejaksaan mengajukan Peninjauan Kembali.
Hadir dalam sidang judicial review itu Hartono dengan didampingi kuasa hukumnya, Singgih Tomi Gemilang, M Sholeh dan Antonius Yongki.
“Dalam bahasa kasarnya, UU ini melawan putusan Mahkamah Konstitusi,” kata M Sholeh dalam sidang terbuka umum yang digelar di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta dan disiarkan lewat Chanel YouTube MK, Senin (23/2/2023).
Sebab, kata M Sholeh, MK sudah pernah melarang jaksa mengajukan PK dalam putusan MK beberapa waktu lalu. Namun dalam UU Kejaksaan, kewenangan itu dihidupkan lagi. Atas statment itu, hakim MK Arief Hidayat menanggapi dengan tertawa.
“Ini tidak sevulgar itu, Pak Sholeh kata-katanya sangat tendensius, supaya bahasanya yang halus ya,” kata Arief dengan tersenyum.
Di luar hal tersebut, Arief Hidayat menilai permohonan itu sudah baik.
“Kalau dari sisi yang lain-lain, permohonan ini sudah baik,” kata hakim konstitusi Arief Hidayat
Arief Hidayat meminta Hartono dan kuasa hukumnya agar menambah argumen permohonan. Salah satunya membandingkan dengan putusan MK sebelumnya atau dengan negara lain.
“Apa hal yang sangat urgen sudah diputuskan dari yang lalu sehingga MK diberikan pemahaman, ini lho, di negara lain pun jaksa tidak boleh, yang boleh ya hak terpidana karena itu hak asasi apabila ditemukan novum. Nah itu yg bisa diuraikan kembali,” ujar Arief Hidayat.
Adapun hakim MK Manahan Sitompul menasihati pemohon agar menajamkan alasannya. Terutama Penjalasan Pasal 30C huruf H yang berbunyi:
Peninjauan kembali oleh Kejaksaan merupakan bentuk tugas dan tanggung jawab Kejaksaan mewakili negara dalam melindungi kepentingan keadilan bagi korban, termasuk bagi negara, dengan menempatkan kewenangan Jaksa secara proporsional pada kedudukan yang sama dan seimbang (equality of arms pinciplel) dengan hak terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali. Peninjauan kembali yang diajukan oleh oditurat dikoordinasikan dengan Kejaksaan.
Jaksa dapat melakukan Peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
“Dalam norma penjelasan yang diuji ini, ini ada buntutnya. Jaksa dapat melakukan PK apabila dalam…. masih banyak yang harus diluruskan dulu. Bagaimana PK itu? Apakah lepas boleh PK? Lepas sebetulnya nggak boleh PK. Malah di sini disebutkan seperti itu. Harus dicari inti sari dari penjelasan itu,” ucap Manahan Sitompul.
Awal Kasus
Kasus bermula saat terjadi jual beli saham kepemilikan perusahaan yang bergerak dalam bidang wisata di Gianyar pada 2015. Hartono selaku notaris mengesahkan jual beli itu. Belakangan, terjadi silang sengketa antar penjual dan pembeli. Kejaksaan akhirnya memintai pertanggungjawaban hukum Hartono di meja hijau.
Pada 13 November 2019, Pengadilan Negeri (PN) Gianyar menyatakan Hartono bersalah turut serta melakukan pemalsuan surat dan menjatuhkan 2 tahun penjara. Pada 21 Januari 2022, Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar membalik keadaan dengan membebaskan Hartono. Majelis tinggi menyatakan Hartono bebas murni dan memulihkan martabatnya.
Jaksa yang menuntut 5 tahun penjara tidak terima dan mengajukan kasasi. Keadaan kembali berbalik. Hartono kembali dinyatakan bersalah turut serta melakukan pemalsuan surat dan dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. Duduk sebagai ketua majelis kasasi Sofyan Sitompul dengan anggota Gazalba Saleh dan Desnayeti.
Mendapati putusan kasasi itu, notaris kelahiran 1963 itu tidak terima dan mengajukan PK. Di tingkat paling akhir ini, majelis PK menjatuhkan vonis bebas murni ke Hartono pada 15 September 2021. Berikut amar PK:
Membebaskan Terpidana tersebut oleh karena itu dari semua dakwaan;
Memerintahkan Terpidana dibebaskan seketika;
Memulihkan hak Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Duduk sebagai ketua majelis Suhadi dengan anggota Eddy Army dan Soesilo. Mendapati putusan yang paling ujung itu, Hartono bernafas lega. Nama baiknya pulih dan nyata-nyata tidak bersalah di kasus itu.
Tapi kebahagiaan itu tidak berjalan lama. Jaksa tiba-tiba mengajukan PK tandingan.
“PK-nya sudah didaftarkan ke PN Gianyar,” kata kuasa hukum Hartono, Singgih Tomi Gemilang.
Atas PK tandingan itu, Hartono tidak tinggal diam dan mengajukan gugatan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan ke MK. Hartono menilai PK jaksa itu melanggar UUD 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum
“Menyatakan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP,” ujar Singgih Tomi Gumilang.
Singgih mengingatkan bila PK prinsipnya merupakan upaya hukum luar biasa (extraordinary remedy) terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Upaya hukum PK bertujuan untuk memberikan keadilan hukum, dan bisa diajukan oleh pihak yang berperkara baik untuk perkara pidana maupun perkara perdata. PK merupakan hak Terpidana selama menjalani masa pidana.
“Dalam KUHAP, khususnya Pasal 263 ayat (1) secara limitatitf tidak menyebutkan Jaksa Penuntut Umum, maka hal itu berarti bahwa Jaksa/Penuntut Umum DILARANG mengajukan permohonan Peninjauan Kembali,” kata Singgih tegas.
Apalagi, larangan jaksa mengajukan PK sudah diperintahkan MK yaitu dalam putusan 33/PUU-XIV/2016. Maka Hartono yakin UU Kejaksaan tersebut melanggar konstitusi.
“Ternyata, pembentuk Undang-Undang masih saja membuat aturan yang memberikan kewenangan Peninjauan Kembali kepada Jaksa/Penuntut Umum, tentu hal ini justru merusak tatanan norma hukum acara yang sudah ada, dan hal itu menyebabkan tidak adanya kepastian hukum yang adil bagi Terpidana,” ucap Singgih Tomi Gumilang.
(asp/zap)