Jakarta –
Senin, 18 Mei 1998. Selepas Ashar dengan susah payah Ketua DPR/MPR Harmoko menerobos kerumunan ratusan wartawan. Bersama para wakil ketua seperti Ismail Hasan Metareum (PPP), Letjen TNI Syarwan Hamid (ABRI), Fatimah Ahmad (PDI) dan Abdul Gafur, dia menyampaikan pernyataan pers yang menggegerkan.
“…pimpinan Dewan baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri.”
Tepuk tangan ratusan wartawan dan para pengunjuk rasa membahana. Gedung MPR/DPR seperti mau pecah oleh gema tepukan tangan dan teriakan mereka. Reaksi lain pun bermunculan. Sebagian besar menyatakan dukungan terhadap sikap pimpinan DPR. Lembaga ini dinilai tanggap terhadap aspirasi rakyat. Namun, reaksi berbeda datang dari pimpinan ABRI di Cilangkap dan sebagian pengurus DPP Golkar.
Usai bertemu Presiden Soeharto di Cendana, Kepala Bakin Letjen TNI Moetojib menyatakan agar segala sesuatunya dikembalikan sesuai dengan konstitusi. “Kalau mengambil keputusan-keputusan, ditanya dulu fraksi-fraksi,” ujarnya. Dia tidak tahu, sebelum pernyataan pers diumumkan, pimpinan Dewan sudah berkonsultasi terlebih dulu dengan pimpinan fraksi-fraksi. Bahkan Syarwan Hamid sebagai perwakilan ABRI pun turut serta.
Petang harinya, pernyataan pimpinan DPR juga mendapat tanggapan dari Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto. Dia didampingi para kepala staf, Kapolri Jenderal Pol. Dibyo Widodo, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, dan Komandan Jenderal Kopassus Mayjen TNI Muchdi P.R. Seperti Kepala Bakin, Wiranto pun menegaskan bahwa pernyataan pimpinan Dewan merupakan pernyataan individu dan tidak memiliki dasar hukum, walaupun disampaikan secara kolektif.
“Sesuai dengan konstitusi, pendapat seperti itu tidak memiliki kekuatan hukum. Pendapat DPR harus diambil oleh seluruh anggota Dewan melalui Sidang Paripurna DPR,” tegas Wiranto.
Lantaran pernyataan pers pimpinan Dewan, yang meminta Soeharto mundur mencuatkan isu bahwa Harmoko telah diculik oleh sekelompok orang. Isu lain, dia dikabarkan meminta suaka politik ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Padahal kala itu Harmoko justru berada di Kantor DPP Golkar di kawasan Slipi, Jakarta Barat untuk memimpin rapat pleno.
“Di forum rapat itu, saya dan Bung Gafur dituding sudah tidak loyal lagi kepada Ketua Dewan Pembina Golkar, Soeharto. Bahkan ada yang lebih keras dengan menyebut kami telah menohok Pak Harto dari belakang. Layaknya Brutus menikam Julius Caesar,” tulis Harmoko dalam buku “Autobiografi Harmoko: Bersama Rakyat ke Gerbang Reformasi” yang diluncurkan pada Sabtu, 25 Februari 2023, di Jakarta Theater. Buku setebal 640 halaman itu, menurut Azisoko, putra Harmoko, ditulis sang ayah sejak 1999 hingga 2004.
Ada yang mengaitkan tudingan seperti itu dengan pernyataan Soeharto yang seolah menolak untuk dicalonkan kembali menjadi Presiden periode 1998-2002. Tapi Soeharto akhirnya luluh karena Harmoko sebagai ketua umum Golkar terus mendesak dengan menyatakan bahwa mayoritas rakyat masih menghendaki.
Terkait hal ini, dalam buku tersebut Harmoko membeberkan sejumlah argumentasi yang menegaskan bahwa dirinya bukan Brutus. Dia tidak merasa pernah mengkhianati Soeharto, baik sebagai Presiden maupun Ketua Dewan Pembina Golkar.
Ketika Soeharto meminta agar pencalonan dirinya dikaji ulang, kata Harmoko, dia langsung melakukannya ke internal Golkar. “Ketika itu semua solid mendukung Pak Harto. Tidak pernah terdengar dari kalangan pengurus, dalam forum resmi maupun tidak resmi, yang menyebut calon lain. Mbak Tutut dan Bambang Tri pun tidak memberikan komentar apa-apa terhadap pilihan itu,” tulis Harmoko.
Sebagai putra-putri Pak Harto, ia melanjutkan, mereka tahu persis suasana batin ayahandanya dalam menghadapi suatu masalah. Apalagi, ini menyangkut masalah besar, berkait dengan pencalonan kembali dirinya sebagai presiden.
Saat itu, Harmoko pribadi menangkap isyarat bahwa Soeharto masih ingin tampil sebagai presiden. Seandainya benar-benar tidak berkenan dengan pencalonan tersebut, putra-putrinya pasti tahu. Lalu, menyampaikan suasana batin Soeharto di depan rapat pengurus DPP Golkar.
“Kalau pun tidak, Pak Harto bisa memanggil saya atau semua anggota Dewan Pembina Golkar untuk menyampaikan isi hatinya, semisal beliau benar-benar tidak berkenan dicalonkan kembali sebagai presiden. Pendeknya, tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh Pak Harto,” beber Harmoko yang dipercaya Soeharto menjadi Menteri Penerangan selama tiga periode.
Andaikata tidak mau dipilih kembali, Soeharto juga bisa mengatakannya terus terang kepada semua pihak dengan berbagai dalih. Misal, karena usia sudah lanjut, ingin menikmati hari tua, atau demi kepentingan regenerasi dan masa depan bangsa. Rakyat tentu akan memaklumi keputusannya kendati banyak desakan dari bawah agar Pak Harto tampil lagi.
Isyarat lain bahwa Soeharto sebetulnya tetap ingin menjadi Presiden, diketahui Harmoko beberapa hari sebelum Sidang Umum MPR. Kala itu Soeharto menelepon kader Golkar, Agung Laksono, untuk dijacalonkan sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olahraga.
“Selain Bung Agung, beberapa figur lain kabarnya juga sudah menerima telepon serupa. Padahal, saat itu, Pak Harto belum dikukuhkan sebagai presiden,” papar Harmoko.
Dia pun menyebut Soeharto sama sekali tidak pernah menganggapnya ‘Brutus’ seperti digembar-gemborkan beberapa pihak. Sebagai bukti, Soeharto mengiriminya sebuah buku pada 27 November 2007. “(Hubungan dengan Soeharto) Baik-baik saja. Ini buktinya,” kata Harmoko kepada detikcom sambil memperlihatkan buku “The Life and Legacy of Indonesia’s Second President”. Di buku itu ada tanda tangan dan tulisan tangan Soeharto ‘untuk saudara Harmoko”.
(rdp/rdp)