PRAMUKA.ID – Kegiatan perpeloncoan pada saat latihan Pramuka di SMAN 1 Ciamis, Jawa Barat, berbuntut masalah hukum. Salah satu aktivitas perpeloncoan tersebut adalah apa yang disebut sebagai “lingkaran setan”, dimana para peserta latihan diharuskan saling menampar satu sama lain, untuk memilih siapa yang pantas menjadi pimpinan sangga (Pinsa) Pramuka. Aktivitas tersebut melukai beberapa siswa dan mengakibatkan persoalannya sampai ke pihak kepolisian.
Lalu ada kejadian lain yang menyangkut Pramuka, yaitu sebanyak 10 siswa SMPN 1 Turi Sleman, Yogyakarta, tewas saat ikut kegiatan Pramuka. Mereka meninggal dunia saat susur Sungai Sempor di Desa Donokerto. Persoalannya jadi lebih meluas, bukan hanya mengakibatkan munculnya tuntutan secara hukum kriminal atas meninggalnya ke-10 siswa itu, namun kali ini justru organisasi Pramuka-lah yang menjadi sasaran. Dua ibu rumah tangga dari Lampung, Rohilyana dan Solyana, prihatin atas banyaknya kasus yang menimpa Pramuka belakangan ini. Oleh sebab itu, mereka menggugat UU Gerakan Pramuka ke MK, yaitu Pasal 7 ayat 3 huruf d yang berbunyi:
“Metode belajar interaktif dan progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwujudkan melalui interaksi kegiatan yang menantang.”
Dari kedua kejadian di atas maka sangatlah terang benderang bahwa Gerakan Pramuka dengan segala kegiatannya, terlebih yang berada di luar ruang, sangat rentan berpotensi tersangkut masalah hukum. Ada celah yang memungkinkan seorang Pembina Pramuka atau anggota Gerakan Pramuka menjadi pesakitan karena sebuah kegiatan kepramukaan yang berujung jatuhnya korban, baik manusia atau pun barang. Sebagai sebuah organisasi, Gerakan Pramuka pun memiliki potensi risiko yang sama. Dengan demikian, dibutuhkan perlindungan, advokasi dan yang sejenisnya, manakala seorang anggota Pramuka harus berhadapan dengan persoalan hukum.
Persoalan hukum memang bukan hanya datang dari luar, bisa juga datang dalam tubuh Gerakan Pramuka sendiri. Kita lihat misalnya kejadian di Organisasi Pramuka Amerika Serikat atau Boy Scouts of America. Oraganisasi Pramuka Amerika itu menghadapi masalah yang cukup pelik, yaitu makin banyaknya kejadian pelecehan terhadap para anggota Gerakan Pramuka. Hal itu terjadi setelah Boy Scouts of America mengijinkan kaum gay memasuki organasasi pramuka di tahun 2013. Tentu saja hal tersebut amat sangat memusingkan pihak Boy Scouts of America, sehingga harus mencari penyelelesaian secara hukum. Kepercayaan masyarakat terhadap Boy Scouts of America pun menurun drastis.
Perlindungan terhadap anggota Gerakan Pramuka di Indonesia juga dilakukan secara amat serius. Kwartir Nasional telah mengeluarkan Petunjuk Penyelenggaraan Gerakan Pramuka Nomor 004 tahun 2021 tentang Peraturan Perlindungan Bagi Anggota Gerakan Pramuka (Safe from Harm). Keputusan itu telah ditandatangani Ketua Kwarnas Kak Budi Waseso pada 31 Desember 2021.
Petunjuk penyelenggaraan (Jukran) tersebut merupakan implementasi dari Kebijakan Dunia tentang Aman Dari Bahaya (World Safe From Harm Policy), yang dikeluarkan World Organization of the Scout Movement (WOSM).
Satu hal yang juga sangat penting diperhatikan adalah kemampuan memahami dan menguasai Managemen Risiko. Kwartir Nasional Gerakan Pramuka telah mengeluarkan keputusan sebagai acuan pelaksanaan Managemen Risiko.
Hal itu tertuang di dalam Keputusan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Nomor: 227 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Penyelenggaraan Kebijakan Managemen Risiko Dalam Gerakan Pramuka.
Sekali lagi, kita tidak membiarkan setiap anggota Gerakan Pramuka sendirian menghadapi persoalan hukum menyangkut kegiatannya di kepramukaan. Harus ada pendampingan secara hukum dari pihak yang berkompeten dalam soal hukum, harus ada advokasi yang membuat masalah menjadi jelas dan akhirnya bisa dicapai sebuah penyelesaian hukum yang memenuhi rasa keadilan.
Berkaca pada beberapa kasus yang menyeret Pembina Pramuka yang mungkin kurang tertangani secara hukum sehingga seolah ada “pembiaran” manakala mereka berada di muka penegak hukum, sementara – amat disayangkan – kadang malah terjadi tudingan kesalahan dari Pembina lain terhadap para Pembina tersebut, sehingga mereka seakan benar-benar tersudut di dalam kesendirian saat menghadapi persoalan hukum.
Satu hal yang seharusnya menjadi pegangan bagi semua Pembina Pramuka adalah, bahwa semua aktivitas menyangkut kepramukaan sejatinya adalah demi pembentukan karakter dan mental anak-anak bangsa ini, tidak ada satu pun niat untuk mencelakai mereka. Bahwa kemudian terjadi hal di luar dugaan, tetaplah harus dianggap sebagai sebuah kecelakaan. Sebuah kecelakaan tentu saja tidak diinginkan oleh siapa pun, namun ketika itu datang maka harus dihadapi dengan sikap realistis dan proporsional, tidak menjauhinya, apalagi saling melemparkan kesalahan.
Pendampingan secara hukum oleh pihak yang berkompeten dan kapabel atas sebuah kasus, bukanlah soal benar atau salah, tetapi adalah bagaimana sebuah keadilan hukum bisa ditegakkan secara lurus dan kokoh.
***
Tentang Penulis
DR (Can) M.Zarkasih,SH.MH.,MSi adalah Andalan Nasional Gerakan Pramuka/Kapusdiklatda DKI Jaya/Advokat