Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan kembali larangan impor baju bekas karena mengganggu industri tekstil dalam negeri. Para penggemar thrifting yang hobi belanja baju bekas pun bereaksi.
Novian (24) adalah penggemar thrifting yang hobi membeli baju bekas impor sejak 2016. Berawal dari diajak teman-teman, Novian sudah pernah thrifting mulai di Pasar Gedebage, Bandung hingga di Pasar Senen dan Blok M, Jakarta.
Bagi Novian, thrifting menarik karena kadang terselip ‘harta karun’ yaitu baju-baju bagus dari tumpukan baju-baju bekas itu. Harganya pun bisa diadu. Itulah keistimewaan thrifting bagi Novian. Oleh sebab itu, dia mengaku kontra dengan larangan impor baju bekas.
“Sebetulnya kurang setuju ya, soalnya nanti jadi nggak bisa thrifting lagi. Pemerintah bilang kan harus dukung produsen dalam negeri, tapi model sama kualitas apa bisa sama? Kadang kan baju buatan industri dalam negeri meskipun baru harganya cukup mahal, nggak sama kualitasnya kayak baju branded di thrift,” kata Novian saat berbincang, Jumat (17/3/2023).
Novian khawatir pelarangan ini juga bakal melahirkan masalah baru. Dia menilai pedagang bisa merugi karena aturan pelarangan baju bekas impor.
“Terus juga kalau bisnis ini disetop bakal muncul masalah baru. Pedagang nanti merugi, terus juga kalau jualan baju bekas jadi penghasilan utama permasalahan ekonomi masyarakat muncul. Angka pengangguran bertambah, lapangan kerja dibutuhkan,” tuturnya.
Komentar senada juga datang dari penggemar thrifting lainnya, Alfons (28). Hobi thrifting sejak 2019, Alfons biasanya membeli kaos vintage, jaket hingga topi di Pasar Senen.
“Lebih pilih thrifting karena lebih murah banget daripada beli di toko baju biasa. Lebih murah banget dan kualitasnya oke,” ujar Alfons.
Alfons juga tidak setuju dengan larangan impor baju bekas. Menurutnya, jual beli baju bekas ini sebenarnya juga menguntungkan bagi warga.
“Sebetulnya nggak setuju ya, karena itu yang jual juga rakyat kecil di Pasar Senen kok. Harusnya kalau mau larang impor, ya UMKM baju dalam negeri kualitas dan harganya juga harus bersaing dulu. Kalau soal pajak ya bisa dipajakin aja harusnya,” katanya.
Ada pula Thia (22) yang baru-baru ini hobi thrifting. Model baju yang unik hingga harga murah bikin Thia senang keluar masuk Pasar Senen dan Pasar Baru untuk berburu baju bekas impor. Dia kadang juga thrifting dari rumah dengan cara belanja lewat marketplace.
“Biasanya aku beli kemeja-kemeja vintage, jaket, sama celana. Itu biasanya beda-beda, kalau kemeja waktu itu pernah nemuin ada yang harganya bisa Rp 20-25 ribu, terus kalau jaket kisaran Rp 50 ribu, dan celana biasanya tergantung bahannya. Waktu itu belinya yang bahan corduroy jadi agak mahal kisaran Rp 70-100 ribu,” kata Thia.
Menurut Thia, belum tentu produk lokal dengan kualitas unik bisa didapat dengan harga semurah itu. Sempat khawatir soal kebersihan, Thia pada akhirnya punya cara sendiri untuk memastikan baju-baju impor bekas itu layak dipakai.
“Kalau soal larangan itu, aku antara setuju dan nggak setuju sih. Kalau dibilang bisnis thrifting (menjual baju bekas impor) ini mengancam produk UMKM lokal, aku nggak begitu paham. Tapi, kan nggak semua barang lokal itu bisa dibeli dengan harga yang pas di kantong semua orang. Mungkin oke itu bisa membantu produk anak negeri, tapi balik lagi, harganya juga kadang nggak main-main,” ungkapnya.
“Jadi pasti orang bakal ujungnya balik lagi untuk thrifting. Apalagi kalau emang mereka lebih suka style vintage atau yang jadul gitulah. Terus kalau dilarang karena soal mengancam kesehatan, sebenernya ada banyak cara buat ngatasin ketakutan itu sih. Kan, abis beli bajunya juga nggak langsung dipake, pasti ada proses pencuciannya dulu dan sebagainya,” lanjutnya.
Namun, ada penggemar thrifting lainnya yang mengaku setuju dengan larangan impor baju bekas ini yaitu Jeane (22). Awalnya, Jeane hobi thrifting demi mendapatkan barang branded yang murah dan sesuai size. Tapi, dia kini melihat bisnis pakaian bekas impor ini hanya sebagai cara membuang limbah fast fashion.
“Sejujurnya aku ingin menyetujui karena akhir-akhir ini aku merasa pakaian bekas memang cara cepat membuang limbah fast fashion. Aku dulu enggak kepikiran nyampe situ,” ucap Jeane saat berbincang.
Jeane juga melihat ada pergeseran dari tren thrifting. Kadang-kadang, dia menemukan baju bekas yang justru makin mahal.
“Sekarang kok malah muncul event-event thrifting gitu. Yang dijual juga kebanyakan barang branded dan harganya berkali-kali lipat. Bisa jadi memang buat membuang limbah fast fashion,” ungkapnya.
Apa kata Jokowi? Baca halaman selanjutnya.