Jakarta –
Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima judicial review UU Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan Zico Simanjuntak. Di mana Zico mempersoalkan pencopotan hakim konstitusi Aswanto oleh DPR.
Kasus bermula saat DPR mencopot hakim MK Aswanto. Zico tidak terima dan mengajukan judicial review UU MK ke MK. Menurutnya, independensi MK sedang digerus oleh DPR melalui upaya mengganti hakim konstitusi agar sejalan dengan DPR.
Menurut Zico lagi, hal ini akan menimbulkan preseden buruk karena di kemudian hari, lembaga yang mengajukan hakim konstitusi (MA, Presiden, dan DPR) akan bisa mengganti siapa pun hakim konstitusi kapan saja dengan mengganggap hakim konstitusi adalah ‘wakil’ mereka.
Zico meminta agar MK menyatakan Pasal 23 ayat (1) MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang dimaknai termasuk juga ‘diberhentikan oleh Lembaga Pengusung karena menganulir atau membatalkan Produk Hukum yang dibuat oleh Lembaga Pengusung’.
Namun apa kata MK?
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” demikian bunyi putusan MK yang dibacakan di sidang terbuka di Gedung MK, Kamis (30/3/2023).
Berikut alasan MK tidak menerima permohonan itu:
Bahwa dilihat dari sistematika UU MK, Pasal 23 secara khusus mengatur mengenai alasan pemberhentian hakim konstitusi, di mana Pasal 23 ayat (1) mengatur alasan pemberhentian dengan hormat, sementara Pasal 23 ayat (2) mengatur alasan pemberhentian tidak dengan hormat.
Bahwa jika alur penalaran permohonan Pemohon diikuti maka rumusan Pasal 23 ayat (1) UU MK akan memuat lima alasan pemberhentian dengan hormat hakim konstitusi (yang dirumuskan dalam huruf a, b, c, d, dan e) sekaligus satu alasan (yang dimohonkan Pemohon) yang tidak termasuk dalam kategori pemberhentian dengan hormat. Artinya dalam satu nafas, ayat (1) dari Pasal 23 UU MK akan sekaligus memuat dua kategori yang bertolak belakang, yaitu kategori pemberhentian dengan hormat yang dianggap Pemohon konstitusional dan kategori pemberhentian yang dianggap Pemohon inkonstitusional. Lebih lanjut, penyatuan dua kategori konstitusionalitas demikian potensial memunculkan kontradiksi yang pada akhirnya Pasal 23 ayat (1) UU MK justru tidak lagi dapat dipahami apalagi dilaksanakan, yang tentunya justru merugikan Pemohon dan masyarakat karena pengaturan mengenai alasan pemberhentian dengan hormat hakim konstitusi tidak lagi dapat diterapkan.
Bahwa penambahan makna baru, secara teknis logika hukum, hanya dimungkinkan untuk dilakukan kepada rumusan norma yang mempunyai kedekatan konteks dengan makna baru yang hendak ditambahkan, serta hasil penambahan makna tersebut tidak justru membuat makna keseluruhan menjadi kabur. Dalam permohonan a quo Mahkamah menilai makna baru yang dimohonkan oleh Pemohon sebagai syarat untuk menyatakan
inkonstitusionalitas Pasal 23 ayat (1) UU MK berjarak secara konteks bahkan dapat dikatakan justru mengakibatkan kekaburan makna Pasal 23 ayat (1) UU MK secara keseluruhan.
Dengan kata lain, ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU MK mengatur tentang alasan dapat diberhentikan dengan hormat sebagai hakim konstitusi. Sebaliknya, petitum yang dimohonkan Pemohon justru mengandung norma berupa larangan sehingga terjadi pertentangan (contradictio in terminis).
Bahwa petitum yang diajukan Pemohon dalam pemahaman Mahkamah terlihat sebagai pemaknaan dalam dua tingkat/langkah, yaitu: langkah pertama, memberikan tambahan makna bagi Pasal 23 ayat (1) UU MK berupa alasan pemberhentian. Langkah kedua, Pasal 23 ayat (1) UU MK yang sudah dilekati tambahan makna tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Pola pemaknaan inkonstitusionalitas bersyarat yang demikian menurut Mahkamah jika diikuti dan diterapkan akan menyulitkan masyarakat dalam memahami Pasal 23 ayat (1) UU MK.
Bagi Mahkamah rumusan makna baru demikian akan lebih mudah dipahami secara logika hukum apabila dirumuskan terpisah dari Pasal 23 ayat (1) UU MK, misalnya di ayat yang lain atau bahkan dirumuskan sebagai pasal terpisah. Meskipun di sisi lain perumusan norma baru secara terpisah demikian mengarah pada praktik positive legislator yang tidak dapat dilakukan Mahkamah karena bertabrakan dengan kewenangan konstitusional pembentuk undang-undang.
(asp/dnu)