Prinsipnya utang harus dibayar sampai lunas. Bahkan dalam agama, utang bisa menjadi waris yang harus dilunasi ahli waris. Lalu bagaimana cara menagihnya? Apakah boleh semena-mena?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca yang lengkapnya sebagai berikut:
Saya telat cicilan beberapa minggu terus menerus ditelpon dan di-Whatsapp. Padahal di sini saya masih punya itikad baik bayar. Sesekali ada petugas telpon dan whatsapp dengan cara kasar dan mengintimidasi, mengancam. Jika tidak bisa membayar tagihan diancam tagihannya berganti menjadi dana lunas, alias melunasi semua cicilan. Dan akan ada debcolletor lapangan datang langsung, menangis dana lunas, sedang kan saya belum ada uang. Kalau ada uang pasti saya akan bayar kan, saya hanya heran saja perusahaan itu adalah terdaftar OJK. Tapi petugas penagihnya seperti tidak berpendidikan. Sama halnya dengan debt collectornya. Isi whatsApp-nya tidak sopan, kasar, tidak berpendidikan pula.
Kalau sudah begini saya harus lapor polisi, kantor OJK atau bagaimana Pak?
Pembaca detik’s Advocate juga bisa menanyakan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Pembaca juga bisa melakukan konsultasi online ke BPHN di https://lsc.bphn.go.id/konsultasi.
Nah untuk menjawab pertanyaan di atas, kami meminta jawaban dari Penyuluh Hukum Ahli Muda Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham, Leny Ferina, S.H. Berikut jawaban lengkapnya:
Terima Kasih, kami akan mencoba menjawab pertanyaan saudara.
Sejauh ini belum ada peraturan OJK yang spesifik membahas tentang debt collector. Namun, ketentuan tentangnya termuat dalam beberapa peraturan.
Pada prinsipnya, penagih utang sebagai pihak ketiga bekerja dengan kuasa yang diberikan oleh kreditur atau si pemberi utang. Terkait dasar hukum, ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pihak perusahaan atau kreditur untuk menggunakan jasa pihak lain sebagai penagih utang, di antaranya Peraturan Bank Indonesia (PBI 23/2021), Peraturan OJK (POJK 35/2018), dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI 2009) serta perubahannya.
Diterangkan Pasal 191 ayat (1) huruf a PBI 23/2021 dalam melakukan penagihan kartu kredit, Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) wajib menjamin bahwa penagihan utang, baik yang dilakukan sendiri atau menggunakan penyedia jasa penagihan, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 48 ayat (1) POJK 35/2018 menerangkan bahwa perusahaan pembiayaan dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan kepada debitur.
Kemudian, ditambahkan dalam Pasal 48 ayat (3) POJK 35/2018, kerja sama yang dimaksud harus memenuhi ketentuan:
a. pihak lain tersebut berbentuk badan hukum;
b. pihak lain tersebut memiliki izin dari instansi berwenang; dan
c. pihak lain tersebut memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan.
Dalam SEBI 2009, diterangkan bahwa apabila hal penerbit (kreditur) menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan penagihan transaksi kartu kredit atau kerap dikenal dengan debt collector kartu kredit, maka:
a. penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteria kolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia;
b. Penerbit harus menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum; dan
c. dalam perjanjian kerjasama antara penerbit dan pihak lain untuk melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harus memuat klausula tentang tanggung jawab Penerbit terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerja sama dengan pihak lain tersebut.
Saksikan LIVE Video:
Lihat juga Video: 8 Orang Ditangkap Terkait Debt Collector Dikeroyok di Serpong