Jakarta –
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2023 jatuh pada tanggal 2 Mei, kemarin. Ketua Presidium PP KMHDI, I Putu Yoga Saputra memandang akses pendidikan masih sulit karena biaya pendidikan yang mahal.
Diketahui, rata-rata total biaya kuliah 8 semester di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Negeri (PTS) di tahun 2040 sebesar Rp 430 juta. Sedangkan penghasilan rata-rata orang tua lulusan SMA/SMK di tahun 2040 sebesar Rp 64,8 juta.
Dana ini dinilai hanya mampu membiayai 3 dari 8 semester atau sama dengan 41,2 persen dari biaya kuliah keseluruhan. Hal serupa juga ditemui pada orang tua lulusan sarjana. Dalam setahun, rata-rata mereka hanya mendapatkan penghasilan sebesar Rp 101,1 juta.
Sehingga, bila mereka menabung selama 18 tahun, jumlah tabungan yang terkumpul sekitar Rp 299 juta. Dana tabungan itu hanya mampu membiayai kuliah anak selama 6 semester atau 69,6 persen dari biaya keseluruhan.
“Peningkatan biaya pendidikan ke depan tidak berjalan seiring dengan peningkatan gaji yang diterima oleh sebagian besar orang tua, terlihat dari data yang dapat diakses di kompas.com bahwa rata-rata kenaikan biaya pendidikan per tahunnya sekitar 15-20 % sedangkan peningkatan penghasilan masyarakat Indonesia hanya sekitar 5,3 % saja. Hal ini dapat menyebabkan para orang tua tidak mampu menutupi biaya pendidikan tinggi sang anak. Meski tidak menjamin kesuksesan seseorang, tetapi setidaknya lulusan sarjana akan menambah peluangnya untuk sukses,” ujar Yoga dalam keterangannya, Rabu (5/3/2023).
Sulitnya akses pendidikan, tambah Yoga, bertentangan dengan semangat Indonesia hari ini menjadi negara besar di tahun 2045. Ia menilai harapan menjadi Indonesia Emas di tahun 2045 akan sulit terealisasi.
“Mahalnya biaya pendidikan sehingga berdampak pada sulitnya pendidikan tersebut diakses juga berdampak pada kualitas SDM nantinya. Karena kalau kita bicara soal bonus demografi, maka kita harus mempersiapkan SDM yang mumpuni. Jangan sampai harapan bonus demografi nantinya justru berbalik menjadi beban demografi,” tegas Yoga.
Selain biaya, keterbatasan akses pendidikan juga disebabkan keterbatasan bangku perkuliahan. Menurut Deputi Menteri Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK, Agus Sartono, dari 3,7 juta pelajar lulusan SMA/SMK/MA, hanya sebanyak 1,8 juta yang bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
“Jika hanya 1,8 juta dari 3,7 juta lulusan saja yang bisa melanjutkan pendidikan, artinya masih ada sekitar 1,9 juta lulusan SMA/SMK/MA yang tidak bisa melanjutkan pendidikan dan saat bekerja harus bersaing dengan lulusan-lulusan perguruan tinggi. Tentu kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena dapat berdampak kepada kesejahteraan rakyat,” papar Yoga.
Yoga menambahkan lulusan-lulusan perguruan tinggi hari ini juga tidak mampu menjawab kebutuhan pasar. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sarjana yang bekerja di luar disiplin ilmu yang dipelajari semasa kuliah.
Menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim dalam tayangan Universitas Sumatera Utara (USU) 80 persen mahasiswa di Indonesia bekerja tidak sesuai dengan jurusan kuliahnya. Sementara berdasarkan data dari United States of America (USA) pada tahun 2010, hanya 27 persen lulusan perguruan tinggi yang memiliki pekerjaan yang sesuai dengan jurusan kuliahnya.
“Saya pikir tidak hanya tentang mahalnya biaya pendidikan saja. Persoalan pendidikan kita hari ini juga terletak pada ketidakmampuan lulusan perguruan tinggi dalam menjawab permintaan yang dibutuhkan pasar. Ya bisa kita lihat hari ini, masih banyak lulusan perguruan tinggi yang bekerja di luar disiplin ilmu yang dipelajari di masa kuliahnya,” terang Yoga.
Yoga berharap semua komponen tak menjadikan Hardiknas sebagai peringatan seremonial belaka. Ia berharap Hardiknas jadi momentum seluruh stakeholder dapat bersama-sama merumuskan jalan keluar dari permasalahan tersebut.
“Tentu kami berharap agar Hardiknas tidak hanya sekadar seremonial belaka dan melupakan esensi utamanya. Sudah diterangkan dalam konstitusi kita bahwa memang sudah tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka penting untuk sama-sama mencari solusi dari persoalan ini agar pendidikan kita tidak semakin jauh dari tujuan utamanya,” tutup Yoga.
(isa/isa)