Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menilai inisiatif Pemerintah Indonesia untuk mendorong proses adopsi Declaration on the Protection of Migrant Fishers (Deklarasi Perlindungan Nelayan Migran) di dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 2023 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur merupakan upaya pelindungan awak kapal perikanan (AKP) migran. Indonesia dinilai perlu terus memanfaatkan keketuaan ASEAN 2023 untuk memastikan pengadopsian deklarasi oleh Negara Anggota ASEAN.
Dalam keterangan tertulisnya, Rabu (10/5/2023) IOJI menilai pengadopsian ASEAN Declaration on the Protection of Migrant Fishers menjadi sangat penting dikarenakan banyaknya AKP migran yang berasal dan bekerja di wilayah ASEAN dan di kapal negara-negara bendera lain di luar ASEAN, mengalami eksploitasi, perbudakan modern. Bahkan, kata dia, hingga menjadi korban perdagangan manusia.
“Sesuai dengan komitmen Presiden RI Joko Widodo untuk memberantas tindak pidana perdagangan orang dalam pembahasan KTT ASEAN 2023 yang disampaikan pada tanggal 8 Mei 2023, upaya pelindungan AKP migran perlu menjadi prioritas Pemerintah Indonesia,” jelas IOJI.
IOJI menyebut, sebagai salah satu kawasan asal terbesar dari AKP migran di seluruh dunia, ASEAN dinilai belum memiliki data akurat mengenai jumlah AKP migran mengingat banyaknya penempatan non-prosedural di sektor ini.
Berdasarkan data ILO 2020, kata IOJI, ada sekitar 125.000 AKP yang bekerja di kapal-kapal Jepang, Republik Korea, Thailand, dan Taiwan berasal dari negara-negara anggota ASEAN. Maka, menurutnya, ASEAN memiliki nilai tawar tinggi untuk memastikan pelindungan yang lebih baik terhadap AKP migran pada industri perikanan tangkap global.
“Setelah diadopsi, Declaration on the Protection of Migrant Fishers akan menjadi instrumen ASEAN pertama yang mengatur mengenai pelindungan AKP migran. Selama ini, AKP migran belum dibahas secara khusus dalam forum-forum ASEAN yang ada. Belum terdapat mekanisme kerjasama antara Negara Anggota ASEAN dalam menangani kasus eksploitasi dan perdagangan manusia yang dialami oleh AKP Migran asal ASEAN,” tutur dia.
“Instrumen ASEAN yang saat ini berlaku, seperti ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers dan ASEAN Declaration of Human Rights, masih berorientasi kepada pekerja land-based dan belum menjawab kerentanan AKP Migran. Meskipun tidak mengikat secara hukum (non-binding), Deklarasi ini akan mendorong masuknya agenda pelindungan AKP migran dalam kebijakan dan mekanisme kerjasama ASEAN dan negara-negara anggota ASEAN terkait migrasi dan hak asasi manusia,” imbuhnya.
IOJI menyebut deklarasi ini merupakan langkah awal bagi ASEAN untuk meningkatkan kerjasama antara Negara Anggota ASEAN tentang pelindungan AKP migran asal ASEAN. Menurutnya, kerjasama yang perlu diprioritaskan adalah terkait pengawasan dan penegakan hukum, pertukaran informasi terkait kasus-kasus AKP migran, termasuk kasus perdagangan manusia, dengan mempertimbangkan aspek privasi.
Selain itu, perlu juga penetapan standar kerja yang layak (decent work) di kapal ikan dan kesehatan dan keselamatan kerja di kapal ikan. Kemudian akses terhadap keadilan, termasuk pemulihan hak bagi AKP migran, repatriasi dan reintegrasi AKP migran, serta sertifikasi dan pengakuan atas kemampuan (skills) AKP migran.
“Dalam Multi-Stakeholders Consultation Workshop on the Development of the ASEAN Declaration on the Protection of Migrant Workers on Board Fishing Vessels pada tanggal 16-17 Maret 2023 di Bali, kelompok masyarakat sipil, termasuk IOJI, menyampaikan masukan tertulis kepada para pemimpin Senior Labor Officials Meeting (SLOM) terkait ketentuan pelindungan AKP migran yang harus dimasukkan dalam deklarasi ini,” jelasnya.