Jakarta –
KUHP Nasional melarang setiap orang memakai lambang negara untuk keperluan di luar UU. Padahal, aturan itu sudah dihapus dan dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) jauh sebelum KUHP baru itu lahir. Leonardo Siahaan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung pun menggugat pasal itu ke MK.
Pasal 237 huruf C KUHP Nasional itu berbunyi:
Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang: menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang.
“Menyatakan pasal 237 huruf C bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian petitum permohonan keduanya yang dikutip dari berkas permohonan pemohon di website MK,” Minggu (14/5/2023).
Aturan itu pernah dihapus MK dalam putusan MK Nomor 4/PUU-X/2012 yang diketok pada 2013. Aturan itu tertuang dalam UU Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Alasan MK menghapus pasal itu adalah:
Mahkamah berpendapat pembatasan penggunaan lambang negara merupakan bentuk pengekangan ekspresi dan apresiasi warga negara akan identitasnya sebagai warga negara. Pengekangan yang demikian dapat mengurangi rasa memiliki yang ada pada warga negara terhadap lambang negaranya, dan bukan tidak mungkin dalam derajat tertentu mengurangi kadar nasionalisme, yang tentunya justru berlawanan dengan maksud dibentuknya Undang-Undang a quo.
“Tidak ada pembedaan serupa sama sekali tetapi yang menjadi ironis Pasal 57 itu yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 entah kenapa diberlakukan kembali dan dimasukkan kembali ke dalam KUHP yang tertuang dalam Pasal 237. Artinya, bahwa di sini sudah menandakan Pemerintah tidak mematuhi putusan MK atau dalam bahasa kasarnya putusan MK ini hanya dianggap formalitas aja, sehingga Pemerintah tidak melaksanakan putusan MK ini yang sudah ada tertera Putusan Nomor 4/PUU-X/2012,” ucap pemohon.
Oleh sebab itu, pasal di KUHP baru diminta Leonardo Siahaan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung untuk dihapus.
“Ini menjadi sangat ironis pemerintah tidak mengakui atau melaksanakan putusan Mk tersebut dan dituangkan kembali ke KUHP,” pungkasnya.
Permohonan ini sudah dua kali disidangkan dan masih berlangsung di MK.
(asp/eva)