Jakarta –
Mantan Hakim Agung, Gayus Lumbun mengkritisi judicial review (JR) kewenangan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam penyidikan perkara korupsi. Menurutnya tak seharusnya kewenangan Kejagung menyidik korupsi dihapus sebab Kejagung merupakan lembaga permanen.
“Apakah kemudian kewenangan (penyidikan) lembaga permanen yang kewenangannya ada pada konstitusi seperti Kejagung akan dialihkan kepada lembaga yang sifatnya komisi seperti KPK?” kata Gayus melalui keterangan tertulis, Senin (15/5/2023).
Gayus menuturkan Kejagung sedang gencar-gencarnya melakukan pemberantasan korupsi. Keberadaan Kejagung, kata Gayus, diatur dengan undang-undang, sehingga tidak seharusnya kewenangannya dikurangi.
“Jadi untuk apa (kewenangan Kejaksaan melakukan penyidikan korupsi) dihapuskan. KPK kan bisa melakukan supervisi nggak usah dengan peraturan karena sudah ada UU-nya,” ujarnya.
Gayus menyampaikan, jika dikomparasikan di luar negeri, penuntutan korupsi juga dilakukan oleh Jaksa. Sekalipun itu dilakukan lembaga sejenis KPK, penuntutan tetap dilakukan Jaksa.
“Mereka hanya mencegah dan menemukan, lalu diserahkan ke kejaksaan, dan kejaksaan yang menuntut ke pengadilan,” jelas Gayus.
Sebelummya seorang advokat Yasin Djamaludin menggugat UU Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yasin Djamaludin meminta kewenangan Kejaksaan untuk menyelidiki dan menyidik kasus korupsi dihapus.
“Menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d Kejaksaan RI bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” demikian permohonan Nurhidayat sebagaimana dikutip dari website MK, Minggu (12/3/2023).
Demikian juga kewenangan jaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 39, Pasal 44 ayat 4 dan ayat 5 sepanjang frase ‘atau kejaksaan’ di UU Tipikor.
“Menyatakan Pasal 44 ayat (4) dan Ayat (5) Khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) Khusus frasa ‘atau Kejaksaan” dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau kejaksaan’ Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” pinta Yasin
(dek/dek)