Jakarta –
Sambil membenarkan letak pecinya yang agak miring, Azmi Abubakar membuka pintu ruko yang sudah terkunci cukup lama. Aroma kertas serta udara yang lembab menyambut, sesaat setelah dirinya masuk ke ruangan selebar 50 meter persegi itu. Kakinya kemudian menuju saklar yang berada di salah satu sudut ruangan. Begitu lampu menyala, tampaklah ribuan buku bertumpukan di atas meja serta di dalam beberapa etalase yang mengisi seluruh ruangan.
Tidak hanya buku, beberapa foto hitam-putih pun turut terlihat mengisi sela-sela lemari di setiap sisi. Foto yang paling besar berada di bagian kiri terhimpit formasi aksara piktogram. Foto itu memuat wajah Dr. Sun Yat Sen, tokoh nasionalis terkenal dari China. Azmi mengatakan, ia mendapatkan foto itu dari seorang rekan dengan harga yang lumayan.
“Ada 35 ribu lebih (koleksi). Bentuknya buku, majalah, foto, dokumen. Barang-barang tercetak,” ucap Azmi kepada tim Sosok detikcom (22/5/23).
Ribuan koleksi itu tersimpan di dalam Museum Pustaka Peranakan Tionghoa miliknya. Terdiri dari 2 lantai, museum rintisan Azmi dipenuhi berbagai jenis literatur tua yang dikumpulkannya sejak dua puluh tahun lalu. Tidak hanya rajin menelusuri toko-toko buku lawas, koleksi itu diperolehnya dari sumbangan para pengunjung yang datang ke museumnya.
“5% dari koleksi yang ada ini ada pemberian dari pengunjung yang di antaranya orang-orang Tionghoa. Misalnya dia punya buku, punya foto di rumahnya yang barangkali dia lihat lebih bermanfaat di sini. Itu saya terima.,” ungkapnya.
Azmi menekankan, dirinya tidak mau menerima barang titipan. Bukan hanya itu, Azmi pun menolak sumbangan dalam bentuk uang. Menurutnya, hal itu tidak sejalan dengan ikhtiar Azmi dalam membesarkan museum. Bukan hanya pengunjung biasa, pihak yang mengatasnamakan sebuah instansi swasta maupun pemerintah pun sering kali menyodorkan uang sebagai bentuk dukungan. Namun, tidak sekalipun Azmi Abubakar menerimanya.
Agar tidak merasa kecewa atas penolakannya, Azmi biasanya memberi pengertian kepada para calon donatur yang datang. Menurutnya, bantuan itu justru akan membuat museum ini tidak kokoh sebagaimana yang diinginkannya.
“Bantuan justru akan melemahkan, ya kasih yang lain aja lah,” kata Azmi.
Jawaban-jawaban Azmi selalu membuat setiap orang mengernyitkan dahi. Pria berdarah Aceh ini mengungkapkan, beberapa pengunjung museum sering mempertanyakan alasan dibalik niatnya untuk mendirikan wahana sejarah itu.
“Ya kadang orang berpikir. Kenapa saya orang Aceh mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa? Saya sering bilang, ‘Betul saya dari Aceh, tapi kan ketika kita menjadi bangsa Indonesia, kita kan sudah dipersaudarakan, dipersatukan bahkan. Kan nggak ada jarak lagi,” katanya.
Menurutnya, hal itu justru menjadi kekuatan baru. Ia beranggapan, latar belakangnya sebagai pria keturunan Aceh memberi nilai lebih terhadap eksistensi museum. Hal ini dilihatnya sebagai penerimaan dirinya terhadap etnis lain.
Bukan hanya sebatas menyadari keberadaan Tionghoa di Indonesia, dirinya justru menyelami dan mempelajari bagaimana napas Tionghoa juga mendampingi perjalanan bangsa hingga saat ini.
Keyakinannya ini tidak berhenti pada dirinya sendiri. Ada kalanya Azmi harus menyuarakan berbagai ilmu yang tersimpan dalam berbagai koleksi miliknya. Dengan demikian, orang yang belum berkesempatan datang ke Museum Peranakan Tionghoa pun bisa sedikit-sedikit memperoleh informasi darinya.
Oleh sebab itu, Azmi pun menyebutkan bahwa museum ini bukan hanya ‘gudang’ untuk meletakkan seluruh koleksi yang ia miliki. Menurutnya, ada fungsi lain dari keberadaan museum ini yang patut diketahui orang lain.
“Ini media dakwah saya. Media di mana saya bisa merasa bermanfaat bagi sesama, jadi kalau ada di sini saya menerima kunjungan, saya merasa ‘ada gunanya juga emak gua ngelahirin gua‘ gitu. Jadi ada nilai plusnya. Kalau sekadar cari makan aja buat apa juga, ya nggak?,” ucapnya.
(Vandy Yansa/vys)