Polisi menyebut kasus ABG berusia 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo) Sulawesi Tengah, adalah kasus persetubuhan anak di bawah umur, bukan pemerkosaan. Anggota DPR RI pun memberikan sorotan keras.
“Dalam perkara ini tidak ada unsur kekerasan, ancaman, ataupun ancaman kekerasan termasuk juga pengancaman terhadap korban. Dalam kaitan dengan dilakukan secara bersama-sama, dari pemeriksaan pun sudah jelas dan tegas bahwa tindak pidana ini dilakukan berdiri sendiri-sendiri, tidak dilakukan secara bersama-sama,” ucap Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho dalam konferensi pers yang dikutip Kamis, (1/6/2023).
Agus menyebut peristiwa itu terjadi dalam kurun waktu April 2022 hingga Januari 2023 di mana terindikasi ada 11 orang pelaku yang melakukan persetubuhan terhadap korban yang merupakan seorang anak berusia 15 tahun. Perbuatan itu disebut Agus tidak terjadi bersama-sama sehingga menurutnya istilah pemerkosaan bergiliran tidaklah tepat.
“Untuk diketahui bersama bahwa kasus yang terjadi bukanlah perkara atau kasus pemerkosaan ataupun rudapaksa apalagi sebagaimana kita maklumi bersama beberapa waktu yang lalu ada yang menyampaikan pemerkosaan yang dilakukan oleh 11 orang secara bersama-sama, saya ingin meluruskan penggunaan istilah itu,” ucap Agus.
Namun dari 11 orang itu baru 10 orang yang dijerat sebagai tersangka. Sedangkan seorang lagi yang merupakan oknum Brimob saat ini masih menjalani pemeriksaan.
Agus menyebutkan bila pemerkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP di mana disebutkan terdapat unsur kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa wanita bersetubuh di luar perkawinan. Pasal ini disebut Agus memiliki ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara. Sedangkan penerapan pasal dalam kasus ini disebut Agus menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Kapolda Sulteng meminta publik tidak menyebut hal ini sebagai pemerkosaan. Berikut penjelasannya.
“Kita tidak menggunakan istilah pemerkosaan melainkan persetubuhan anak di bawah umur. Mengapa? Karena apabila kita mengacu pada istilah pemerkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 KUHP ini secara jelas dinyatakan bahwa unsur yang bersifat konstitutif di dalam kasus pemerkosaan adalah adanya tindakan kekerasan atau pun ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk bersetubuh dengannya di luar perkawinan,” ucap Agus.
“Modus operandi yang digunakannya pun bukan dengan kekerasan ataupun ancaman kekerasan, melainkan dengan bujuk rayu, tipu daya, iming-iming akan diberikan sejumlah uang, akan diberikan sejumlah barang baik itu berupa pakaian, handphone, bahkan ada di antara pelaku yang berani menjanjikan akan bertanggung jawab jika korban sampai dengan hamil,” imbuhnya kemudian.
Selengkapnya pada halaman berikut.