Jakarta –
Anggota Komisi III DPR Taufik Basari alias Tobas menilai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentangan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Tobas mengatakan undang-undang tersebut perlu direvisi.
Hal itu disampaikan Tobas saat menyampaikan materi dalam diskusi bertajuk ‘Memutus Rantai Impunitas, Pentingnya Pengadilan HAM dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia’ yang diselenggarakan oleh Komnas HAM di Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023)
“Jika kita melihat ada problem di UU ini, dari beberapa diskusi akhirnya saya sampai pada kesimpulan kita butuh revisi. UU 26 Tahun 2000 tidak bisa dipertahankan dengan kondisi yang sekarang. Kita harus revisi,” ujar Tobas.
Tobas mengatakan UU No 26 Tahun 2000 tidak bisa memenuhi ekspektasi untuk menyelesaikan HAM berat. Menurutnya, banyak pelanggaran HAM berat justru terhambat penyelesaiannya karena undang-undang tersebut.
Sebab, kata Tobas, undang-undang tersebut hanya mendefinisikan pelanggaran HAM berat ke dalam dua kategori, yakni genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Kejahatan terhadap kemanusiaan tak dijelaskan secara detail di aturan tersebut.
Karena itu, menurutnya, menyebabkan kerancuan dalam mengategorikan kejahatan sebagai pelanggaran HAM berat. Jadi, pengadilan kerap kesulitan memahami pengertian dari jenis kejahatan tersebut.
“Menurut saya, ini membuat penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dan pasca 26/ 2000 menjadi terkendala hingga saat ini,” kata Tobas.
Masih pada kesempatan yang sama, Tobas juga mengungkit soal awal mula pembentukan Undang-undang Pengadilan HAM. Dia mengatakan Undang-Undang Pengadilan HAM saat itu dibuat karena alasan politis.
Sebab, dia mengatakan saat itu pemerintah khawatir pelanggaran HAM beratnya diadili di dunia internasional. Tobas mengatakan salah satu yang diwacanakan akan dibawa ke pengadilan internasional adalah kasus HAM berat Timor Timur.
Hingga pada tahun 2000, pemerintah Indonesia akhirnya mengeluarkan Undang-Undang Pengadilan HAM. Adapun kasus Timor Timur baru diadili pada 2022.
“Harapan kita, kita menganggap bahwa pengadilan HAM, itu bisa mengadili seluruh problem-problem pelanggaran HAM yang ada di Indonesia,” ucapnya.
Untuk diketahui, sejauh ini terdapat 16 kasus yang telah ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat di Indonesia. Namun, dari 16 kasus tersebut, baru empat kasus masuk ke tahap pengadilan.
Namun, dari empat hasil pengadilan yang telah dijalankan, tidak ada satu pun terdakwa yang dijerat hukuman dalam kasus tersebut.
(aik/aik)