Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf menyoroti potret siswa di beberapa wilayah RI yang harus menaiki rakit demi bisa sampai ke sekolah. Dede Yusuf menilai kondisi infrastruktur pendidikan untuk anak di beberapa wilayah di Tanah Air belum memenuhi kelayakan.
“Saya sering menemukan sekolah yang berada di bawah tebing gunung atau tebing bukit. Perjalanan untuk ke sekolah itu harus melewati jalan setapak yang pinggir-pinggirnya atau tepinya adalah jurang,” kata Dede Yusuf dalam keterangannya, Kamis (14/6/2023).
Kurangnya infrastruktur pendidikan di Indonesia bukan hanya dirasakan oleh siswa saja. Menurut Dede, tidak sedikit tenaga pengajar yang harus berjuang ekstra untuk bisa sampai ke sekolah tempat mereka mengajar murid-murid.
“Guru-guru juga cerita kepada saya untuk sampai ke sekolah itu, mereka harus naik motor melewati jalan berkubang atau berlumpur atau berjalan kaki 2 sampai 3 jam baru sampai di lokasi. Apalagi siswanya,” tuturnya.
Dede memahami bahwa ada daerah-daerah yang sulit ditembus oleh kendaraan mengingat kondisi demografi di Indonesia yang berbeda-beda. Khususnya di wilayah-wilayah desa, khususnya yang berada di kabupaten pedalaman, bukanlah jalan tol atau jalan nasional yang dibutuhkan namun kemudahan akses jalan.
Dia mengambil contoh seperti siswa SDN 478 Barowa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang memakai rakit gabus demi ke sekolah karena jembatan yang rusak. Dia menilai hal itu tidak hanya terjadi di Luwu saja.
“Karena di situlah beradanya masyarakat kita. Dan fenomena seperti di Kabupaten Luwu itu banyak sekali terjadi, bahkan di daerah-daerah yang sebenarnya dekat dengan kota-kota besar,” ungkap Dede.
Meski begitu, Dede menyebut Pemerintah Daerah (Pemda) punya tanggung jawab dalam hal infrastruktur pendidikan di wilayahnya. Menurutnya, kurangnya pendataan dan pemetaan lokasi menjadi salah satu sebab masih banyak ditemukannya anak-anak yang kesulitan ketika berangkat dan pulang sekolah.
“Pemerintah daerah sangat penting sekali untuk membuat mapping atau database terkait proses berangkat dan pulang ke sekolah. Agar tidak lagi terjadi anak-anak SD bergelantungan untuk menyebrang sungai kemudian seperti yang terjadi di Luwu,” ujarnya.
Menurut Dede, fenomena ini termasuk dalam persoalan infrastruktur, bukan permasalahan kualitas pendidikan. “Jadi harap dibedakan. Dan memang sebaiknya sekolah-sekolah yang sulit dijangkau itu dipindah ke lokasi yang mudah dijangkau. Lalu kemudian tentunya adalah sekolah yang sudah tidak layak jangan lagi dipergunakan sebagai sekolah, harus segera dipindahkan ke sekolah baru,” imbuhnya.
Selain Pemda, dia menilai pendataan infrastruktur penunjang pendidikan juga perlu diperkuat dengan peran Kemendikbudristek dan Kementerian PUPR. Di mana Dede menyebut anggaran untuk fasilitas dan pembangunan infrastruktur penunjang pendidikan ada di ranah Kementerian PUPR.
“Akibatnya PUPR hanya membangun ruang kelas baru atau sekolahnya saja tapi tidak lagi memikirkan bagaimana perjalanan menuju sekolahnya dan Kemendikbudristek tidak lagi mempunyai alokasi anggaran untuk memperbaiki jalan,” jelasnya.
Jika semua anggaran diamanahkan ke Kementerian PUPR, Dede tidak yakin pembangunan akan fokus terhadap infrastruktur penunjang pendidikan. Oleh karenanya, ia meminta agar kewenangan pembangunan sekolah, ruang kelas baru, serta penunjang pendidikan dikembalikan kepada Kemendikbud.
“Sehingga dari situ kita bisa tau dari Dapodik (Data Pokok Pendidikan) bahwa sekolah ini tidak layak. Tapi sekarang anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik ataupun dukungan fisik untuk sekolah fasilitas dan sarana pendidikan sudah ditarik ke (Kementerian) PUPR,” terang Dede.