Indeks persepsi korupsi di Indonesia hari demi hari semakin memprihatinkan. Bahkan di istana keadilan, Mahkamah Agung (MA), korupsi dilakukan secara terang-terangan lewah WhatsApp dan uang dibagi-bagi di gedung MA.
Fenomena di atas membuat pembaca detik’s Advocate menilai koruptor perlu juga dijerat dengan Pasal Penodaan Agama. Sebab, korupsi juga melanggar sumpah jabatan yang diucapkan atas nama Tuhan Yang Maha Esa.
Pembaca detikcom juga bisa mengajukan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Berikut pertanyaan lengkapnya:
Perkenalkan, nama saya Danu, saya adalah warga Indonesia yang merantau sebagai buruh upahan di Jakarta. Saya merenung melihat korupsi yang merugikan kepentingan publik.
Sebagai negara yg berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, pejabat publik bersumpah atas nama Tuhan untuk bekerja dengan baik. Sumpah diucapkan saat pelantikan jabatan. Namun kemudian, sebagian pejabat publik ternyata korupsi dan dipidana sebagai koruptor.
Dapatkan koruptor dikenakan pasal penodaan agama lantaran dia menista sumpah jabatan atas nama Tuhan lewat perilaku korupsi yang dia lakukan? Mohon izin pencerahan dari sudut pandang hukum.
Hormat saya,
Danu, warga yang turut merugi bila kepentingan publik dikorupsi
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik’s Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Fitrah Bukhari SH MH. Berikut penjelasan lengkapnya:
Kami ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang saudara sampaikan. Pertanyaan yang menganut semangat untuk mewujudkan negara berketuhanan yang bersih dari korupsi. Namun sebelum menjawab pertanyaan secara spesifik, kami akan paparkan beberapa hal sebagai berikut.
Dalam pertanyaan saudara, tidak dijelaskan pejabat publik apa yang saudara maksud, namun dari penelurusan yang kami lakukan, yang dimaksud dengan pejabat publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik (Pasal 1 angka 8 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik).
Di UU yang sama, Badan Publik didefinisikan sebagai lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri (Pasal 1 angka 3 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik)
Ketentuan Sumpah Jabatan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sumpah adalah janji atau ikrar yang teguh akan menunaikan sesuatu. Sumpah ini menjadi pintu masuk pejabat publik menerima amanatnya. Pernyataan sumpah berarti berjanji dengan diri sendiri dan di hadapan Tuhan untuk melaksanakan amanat sesuai dengan lafal sumpah. Karena itu setiap pejabat publik sebelum melaksanakan tugasnya, wajib disumpah yang disaksikan oleh tokoh agama dan menggunakan lafal yang sesuai dengan keyakinan agama dan kepercayaannya.
Secara umum, lafal sumpah yang diucapkan pejabat publik memiliki substansi yang sama, seperti:
• memenuhi kewajiban dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya;
• memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
• menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus lurusnya; dan
• berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa.
Oleh karena sumpah/janji itu diikrarkan menurut agama atau kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka pada hakikatnya sumpah/ janji itu bukan saja merupakan kesanggupan menjalankan wewenang, tetapi juga merupakan kesanggupan terhadap Tuhan, bahwa yang bersangkutan berjanji akan menaati segala keharusan dan tidak melakukan segala larangan yang telah ditentukan.
Pelanggaran Sumpah Jabatan
Sumpah jabatan berkedudukan sebagai salah satu syarat sah memangku jabatan, governmental contract, dan bentuk pengawasan diri yang melekat. Hal tersebut dapat disertai konsekuensi apabila melakukan pelanggaran sumpah jabatan pejabat negara yaitu pemberhentian dari jabatan. Terdapat pandangan bahwa pelanggaran terhadap sumpah jabatan dapat membawa pejabat publik dalam proses pemberhentian. Contoh seperti dalam jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden terdapat salah satu syarat untuk dapat diberhentikan dari jabatannya yaitu melakukan “perbuatan tercela”.
Hasil penelitian Irham Muhammad dalam Disertasinya di Universitas Andalas (2021) yang berjudul Perbuatan Tercela Sebagai Salah Satu Alasan Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Dalam Pasal 7a Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Demi Kepastian Hukum Sistem Presidensial Di Indonesia menyebutkan bahwa batu uji “perbuatan tercela” yang menjadi salah satu syarat pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Pasal 7A UUD NRI 1945 adalah sumpah/janji jabatan yang tertera dalam Pasal 9 ayat (1) UUD NRI 1945.
Makna konstitusionalitas dari perubatan tercela adalah perbuatan yang melanggar atau tidak memenuhi sumpah/janji jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pelanggaran terhadapnya juga memiliki nilai ketercelaan yang universal baik dalam hukum agama, hukum adat, hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pidana maupun hukum perdata yang diakui di Indonesia.
Kasus konkret yang pernah terjadi adalah peristiwa pemakzulan mantan Bupati Garut Aceng Fikri di tahun 2012. Aceng dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan sehingga diproses pemberhentiannya oleh DPRD Garut.
Dalam praktik perkembangannya, pelanggaran terhadap sumpah tidak dikenakan hukuman pidana, termasuk penodaan agama dikarenakan mayoritas kasus cenderung ditempatkan dalam ranah etik. Karena itu penegakan terhadap sumpah jabatan cenderung dilakukan oleh Lembaga etik di masing-masing rumpun pemerintahan.