Jakarta –
Sejumlah orang tua murid yang tergabung dalam Koalisi Kawal Pendidikan Jakarta (Kopaja) menggelar demonstrasi di Balai Kota DKI Jakarta. Mereka memprotes sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Pantauan detikcom di lokasi, Selasa (20/6/2023), para peserta aksi tampak membawa spanduk bertuliskan tuntutan aksi hari ini. Salah satu peserta aksi juga tampak memakai seragam sekolah dasar (SD) sebagai bentuk protes PPDB.
Perwakilan Kopaja, Ubaid Matraji, mengatakan pihaknya memprotes sistem PPDB Bersama. Dalam sistem ini, Pemprov DKI menyiapkan biaya gratis di sekolah swasta bagi peserta didik yang gagal dalam seleksi PPDB tingkat SMA dan SMK.
Namun, sistem ini dianggap orang tua murid diskriminatif karena hanya menampung 6.909 atau 4 persen dari jumlah peserta didik yang gagal dalam seleksi PPDB SMA dan SMK.
“Yang jadi alasan Pemrpov DKI Jakarta ini adalah sistem PPDB bersama. Okelah jumlah negeri itu terbatas, karena itu skema DKI Jakarta itu pakai PPDB Bersama. Tetapi, PPDB bersama itu hanya sebuah janji-janji itu yang kalau dilihat, hanya mampu menampung 4 persen dari total kebutuhan 170 ribu anak DKI Jakarta yang nggak diterima. Hanya mampu menampung 4 persen jadi sangat kecil sekali,” kata Ubaid.
Dia menilai seharusnya PPDB bersama mampu menampung 100 persen peserta didik yang gagal di tahapan seleksi masuk sekolah negeri. Dia juga menuntut sistem PPDB bersama tak hanya untuk SMA/SMK saja, tapi juga SD dan SMP.
“Kita inginnya yang tidak tertampung itu ya ditampung 100 persen. Jangan hanya mengeluarkan PPDB bersama hanya menampung 4 persen. Jadi kesalahannya itu yang pertama,” ujarnya.
Ubaid mengaku yakin anggaran DKI Jakarta mampu menjamin pendidikan gratis bagi warga. Dia berharap ada perbaikan sistem PPDB.
“Semua tidak ada yang membantah kami, kita setuju dengan itu, tetapi keputusannya selalu akan mempertimbangkan ketersediaan anggaran, padahal kita tahu APBD DKI itu lebih dari Rp 80 triliun, untuk pendidikan 20 persen lebih dari Rp 16 triliun. Artinya ini bukan soal tersedia atau tidak, tetapi kebijakan politik saja, mau atau tidak dari Rp 16 triliun itu untuk membiayai 170.000 anak itu, jangan hanya 4 persennya saja,” ujarnya.
(taa/haf)