Jakarta –
Upah Minimum Regional (UMR) menjadi patokan minimal bagi pengusaha untuk menggaji karyawannya. Namun bagaimana bila ada pengusaha yang menggaji karyawannya di bawah UMR? Apakah bisa dikenakan delik pidana?
Berikut pertanyaan pembaca yang diterima detik’s Advocate. Pembaca detikcom juga bisa mengajukan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Berikut pertanyaan lengkapnya:
Selamat pagi kak
Saya mau bertanya tentang gaji di bawah UMR
Sebelum di poin pertanyaan saya ingin bercerita terkait pertanyaan yang akan saya ajukan.
Saya sedang bekerja di sebuah perusahaan dagang kurang lebih ada 4 bulan bekerja. Sebelum mulai bekerja pihak HRD dan manager berbicara dengan saya mereka menjelaskan jobdesk yang akan saya kerja nantinya.
Dari pihak manager dan HRD mengatakan bahwa saya kerja di perusahaan hanya sebagai pembantu/rekap data karena perusahanaan lagi ada pemakaian software baru dan pihak manager menawarkan gaji Rp 1,8 juta. Padahal UMR yang saya tempati UMR-nya Rp 2,5 juta. Dan pihak manager dan HRD bicara bahwa masa kerja 1 bulan atau bisa lebih, tergantung percepatan perpindahan datanya.
Di situ kan saya pikir ‘ok nggak masalah gaji di bawah UMR gak masalah kan cuman membantu, jadi gak masalah’. Di situ saya beserta HRD dan manager memulai kesepakatan dengan jobdesk dan gaji yang diterima, tapi kesepakatan itu tidak ditandatangani di atas hitam putih, cuman hanya percakapan.
Setelah terjadi kesepakatan saya bekerja di situ 8 jam kerja tapi bisa mulur sampai 1-2 jam tapi nggak dihitung lemburan kalau ada yang overtime.
Pada kerja 1 bulan saya dipanggil HRD diajak bicara. Pada pembicaraan itu pihak HRD mengasih harapan kalau saya bisa diangkat jadi karyawan. Di situ saya merasa senang karena ada status karyawan.
Berjalannya waktu sampai bulan keempat ini dari pihak HRD tidak ada kabar yang saya terima terkait status saya bekerja di perusahaan apa dan di situ saya gaji saya masih sama tidak ada perubahan. Saya hanya mendapatkan gaji pokok dan tanpa BPJS.
Pertanyaan saya
1. Apa boleh perusahaan dagang boleh membayar gaji di bawah UMR tanpa adanya tanda tangan di atas hitam putih ?
2. Apakah boleh karyawan menanyakan status pekerjaan yang baru bekerja selama 4 bulan?
Ashadi
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik’s Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H. Berikut penjelasan lengkapnya:
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Kami akan coba membantu untuk menjawabnya.
Mengacu kepada ketentuan Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003), yang dimaksud dengan Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Kemudian, mengacu kepada ketentuan Pasal 1 Ayat (6) UU 13/2003, yang dimaksud Perusahaan adalah :
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dari ketentuan hukum di atas, dihubungkan dengan pertanyaan Saudara, maka dapat disimpulkan bahwa tempat kerja Saudara memenuhi kriteria untuk dapat disebut sebagai Perusahaan, dan pemiliknya disebut sebagai Pengusaha.
Dengan demikian, tempat kerja Saudara harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan khususnya yang menyangkut pengupahan kepada para pekerjanya.
Setiap Pengusaha atau Perusahaan yang memperkerjakan seseorang sebagai tenaga kerja, wajib memberikan upah yang sesuai dengan upah minimum yang berlaku, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kota/kabupaten.
Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 81 Angka (25) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang menyisipkan lima pasal diantara ketentuan Pasal 88 dan Pasal 89 UU 13/2003 yakni Pasal 88A, Pasal 88B, Pasal 88C, Pasal 88D, dan Pasal 88E, yang mana dalam Pasal 88C Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 88E dinyatakan :
“Pasal 88C Ayat (1) dan (2) :
(1) Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.
(2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/ kota dengan syarat tertentu.
Pasal 88E :
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C Ayat (1) dan Ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan.
(2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.”
Bagi Pengusaha atau Perusahaan yang melanggar ketentuan Pasal 88E di atas, terdapat sanksi berupa ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 400.000.000,- sebagaimana ketentuan Pasal Pasal 81 Angka (63) UU Ciptaker yang mengubah ketentuan Pasal 185 UU 13/2003.
|
Sehubungan dengan pertanyaan Saudara yang mempertanyakan status pekerjaan di perusahaan, maka apabila mengacu kepada ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU 13/2003, suatu perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Menurut pendapat kami, Saudara mempunyai hak untuk menanyakan jenis pekerjaan yang diberikan kepada Saudara oleh perusahaan, apakah untuk waktu tertentu ataukah untuk waktu tidak tertentu.
Menurut ketentuan Pasal 81 Angka (13) UU Ciptaker yang mengubah ketentuan Pasal 57 Ayat (1) UU 13/2003, dinyatakan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
Sedangkan dalam hal perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. Hal ini sesuai sebagaimana ketentuan Pasal 63 Ayat (1) UU 13/2003.
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat.
Salam.
Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H.
Partner pada Law Office ELMA & Partners
www.lawofficeelma.com
Tentang detik’s Advocate
detik’s Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
d
|
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
(asp/asp)