Jakarta –
Timwas DPR mengecek pengelolaan makanan bagi jemaah haji Indonesia ke katering yang ditunjuk Pemerintah. Timwas Haji menemukan informasi perbandingan pengelolaan katering haji Malaysia dan Indonesia. Timwas mengkritik pengelolaan makanan haji Pemerintah Indonesia.
Tim kecil Timwas Haji yang mengecek katering dipimpin oleh Anggota Komisi VIII DPR Abdul Wachid. Rombongan Anggota Komisi VIII DPR yang ikut adalah Mochamad Hasbi Asyidiki Jayabaya, Umar Bashor, Bambang Haryadi, Husni, Achmad, Anisah Syakur, Muslich Zainal Abidin. Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Syarif Abdullah Alkadri juga ikut serta di rombongan ini.
Sebelum ke katering, Timwas mengunjungi pemondokan jemaah haji di wilayah Misfalah, Mekkah, Sabtu (24/6/2023). Timwas mengecek dan menanyai jemaah haji Indonesia soal makanan yang disediakan.
“Saya tanya jemaah, gimana masalah makan, cocok? Mereka jawab cocok. Tapi ini kan jawaban mereka karena mereka nggak tahu berapa nilai uang katering untuk per makan itu. Nah kalau bagi saya yang tim pengawas bersama teman-teman yang tahu budgetnya, saya ini makanan ini belum sesuai budget,” kata Abdul Wachid kepada wartawan di Mekkah.
Wachid menjelasan budget jemaah untuk sekali makan adalah 17,5 riyal, atau sekitar Rp 70 ribu. Dengan budget itu, jemaah harus mendapat makanan dengan nilai gizi yang cukup.
“Ternyata di sana ndak ketemu itu, makanannya ndak sesuai budget,” ujarnya.
Ketidaksesuaian itu menjadi catatan bagi Timwas. Wachid menduga ketidaksesuaian budget ini karena pelanggaran soal jumlah jatah makan jemaah yang dilakukan Pemerintah.
“Kita temukan makan tiga kali, padahal kesepakatan dengan Panja DPR 2 kali, karena pagi itu udah lah masih ke masjid dan lain-lain. Ternyata Kementerian ini keluar dari aturan Panja. Saya cek-cek katanya ini dari nilai efisiensi (pelaksanaan haji, red). Lho efisiensi dari mana, wong belum selesai (pelaksanaan hajinya),” ulas Ketua DPD Gerindra Jawa Tengah ini.
Wachid menduga budget dua kali makan dalam sehari yang totalnya 35 riyal, dibagi menjadi tiga kali makan. Oleh karenanya nilai gizi tiap makanan jadi tidak seperti seharusnya. Bahkan pada hari kunjungan Timwas ke Misfalah, Wachid mengatakan jemaah mengaku diberi makan mi instan gelas.
Dari Misfalah kemudian Timwas bergerak ke katering AlMudif AlMutamaiz. Timwas langsung masuk ke dapur katering itu dan mengecek pengelolaan makanan.
Timwas berbincang dengan salah seorang chef asal Indonesia yang mengelola makanan haji. Wachid lalu mengkroscek data yang dia dapat dari jemaah di Misfalah.
Ternyata, keterangan chef cocok dengan keluhan jemaah. Chef tersebut mengungkap sering menyiapkan nasi dengan lauk kentang untuk sarapan jemaah. Terkadang, saat mendapat tempe, menu sarapan itu menjadi nasi berlauk orek tempe.
Eksplorasi Timwas di katering itu menemukan fakta yang mengagetkan Wachid dan anggota Timwas. Katering tersebut, selain memasak untuk jemaah haji Indonesia, juga memasak untuk jemaah asal Malaysia. Wachid mendapat informasi soal betapa rapinya pengelolaan makanan jemaah haji Malaysia.
Salah satu yang menjadi catatan utamanya adalah soal tidak didistribusikannya makanan untuk jemaah haji Indonesia pada dua hari sebelum Wukuf Arafah. Alasan Pemerintah, kata pihak katering, karena tidak alat transportasi yang bisa digunakan pada waktu tersebut. Namun ternyata, jemaah haji Malaysia bisa tetap mendapatkan distribusi makanan.
Nah, soal makanan yang didapat jemaah haji Malaysia, Timwas bertambah keheranannya. Sebab, jemaah haji asal Malaysia mendapat makanan siap saji yang terbungkus rapi dengan menu nasi, daging, buah dan air mineral. Nasi dan daging untuk jemaah Malaysia itu bahkan terbungkus rapi seperti ransum untuk TNI.
“Saya tanya ke chef, ini untuk siapa, ternyata ini untuk Malaysia. Lho saya tanya ini bisa berapa hari? 3 Bulan bisa, kata dia. Lho di kita ada yang seperti ransum ini, di BNPB. Lah kenapa kita nggak bisa seperti itu,” ujar Wachid tampak heran.
Baiknya pengelolaan makanan haji Malaysia juga tergambar dari soal bumbu masakah. Chef yang ditanyai Timwas mengaku mudah memasak untuk jemaah haji Malaysia karena bumbu-bumbu sudah tersedia dalam bentuk bubuk yang dikirim dari Malaysia.
Sementara dari untuk masakan Indonesia, kata Wachid, hasil dari peninjauan, ternyata semua bahan-bahan utamanya nyaris tidak berasal dari Indonesia. Cita rasa makanannya memang Indonesia, namun bahannya dari produk luar.
“Saya lihat di gudang katering itu, berasnya beras Thailand, ikannya ternyata ikan patin Myanmar, ayamnya ayam Saudi, jadi bukan punya kita. Dari kita hanya kecap, gula aren sama saus,” tutur Wachid.
Wachid mengaku sudah mengecek informasi soal ekspor 10 kontainer bahan makanan Indonesia ke Saudi. Menurut informasi yang diterima Wachid, bahan makanan itu tidak dibeli oleh pengusaha Saudi.
(tor/rdp)