Jakarta –
“12 Tahun saya menabung untuk haji, nggak nyangka yang didapat seperti ini.”
Ungkapan gundah di atas terucap dari seorang jemaah haji pria asal kloter 11 BTJ Aceh yang menghuni Maktab 42 di Mina. Kegundahannya didasari pengalaman tak menyenangkan yang didapatnya dari pelayanan haji di Mina, mulai dari soal pemondokan hingga distribusi makanan.
Sebagian jemaah haji Indonesia memang tak terurus dengan baik selama menjalani ibadah di Tanah Suci Mekkah, khususnya saat di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna). Mereka sempat telantar karena lambat dijemput, terpaksa tidur di luar tenda sebab jemaah menyemut, hingga enggan ke toilet yang antreannya kusut.
Untuk diketahui, pengelola ibadah haji semenjak di Arafah hingga Mina adalah penyedia layanan haji, atau disebut masyariq, yang diajukan Pemerintah Arab Saudi. Pemerintah Indonesia mengikat kontrak dengan para masyariq ini, karena memang peraturan di Saudi hanya mereka yang diberi wewenang mengurus pelayanan haji.
Namun malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diraih, kinerja masyariq-masyariq terbilang mengecewakan. Jemaah Indonesia mengalami berbagai masalah yang menguji kesabaran selama beribadah di Armuzna.
Beberapa di antara masalah itu adalah jemaah telantar dari subuh hingga siang hari tanpa bekal makanan dan minuman di Muzdalifah, lalu tak kebagian tempat tidur karena penuhnya tenda di Mina, ada pula masalah toilet mampet dan tak keluar air hingga mengakibatkan sebagian jemaah enggan berurusan dengan MCK selama 5 hari.
Ace Hasan Syadzily Foto: Dok. Metaksos DPR/Oji
|
Tim Pengawas Pelaksanaan (Timwas) Haji DPR mendorong Pemerintah Indonesia protes keras terkait kinerja masyariq-masyariq ini. Protes keras bisa dilayangkan ke Pemerintah Saudi yang menyodorkan mereka ke Pemerintah Indonesia.
“Pemerintah Indonesia harus meninjau ulang keberadaan masyariq atau penyedia layanan dari pihak Arab Saudi. Pemerintah Indonesia harus menyampaikan protes keras kepada Pemerintah Arab Saudi atas layanan yang bermasalah ini karena Pemerintah Arab Saudi yang menawarkan masyariq ini kepada Kementerian Agama,” kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang juga Anggota Timwas Haji DPR Ace Hasan Syadzily kepada wartawan di Mekkah, Jumat (30/6/2023).
Ace mengatakan Komisi VIII DPR telah mencatat berbagai masalah yang terjadi sejak dari pemondokan di Mekkah hingga ke Armuzna. Dalam beberapa waktu ke depan, Komisi VIII DPR akan mengundang Kementerian Agama untuk mengevaluasi total pelaksanaan Haji 2023.
Selain masyariq, kinerja Pemerintah Indonesia juga tak bisa dilepaskan dari faktor berantakannya pelayanan kepada sebagian jemaah haji. Wakil Ketua Komisi VIII DPR Diah Pitaloka mengungkap Kementerian Agama ‘hanya’ bermodalkan baik sangka saat menerima tambahan kuota haji dari Arab Saudi, tanpa ada sikap kritis untuk mempertanyakan detail penyesuaian pelayanan.
“Sebelumnya Kementerian Agama berpikir, bahwa itu akan ada penambahan Maktab karena penambahan kuota, ternyata tidak ada,” kata Diah usai bertemu dengan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief di Maktab Misi Haji di Mina, kemarin.
Diah Pitaloka (kiri) saat meninjau maktab jemaah haji Indonesia di Mina. Foto: dok. Timwas Haji DPR
|
Penambahan kuota haji hingga menjadi 229 ribu jemaah –dari sebelumnya 221 ribu– yang tak diikuti penyesuaian fasilitas, memberi efek domino mengenaskan terhadap pelayanan jemaah kita. Timwas Haji DPR ingin mencegah kondisi ini terulang di masa depan. Timwas mengusulkan kontrak yang berisi denda bagi pengelola layanan haji di Saudi.
“Perjanjian secara hukum antara Kementerian Agama dengan pengelola masyair (ongkos haji, red) itu harus lebih detail dan juga berada dalam kerangka sifatnya dokumen yang ada legal draftingnya. Jadi ada landasan legalnya, landasan hukumnya, sehingga apabila terjadi hal-hal seperti ini, kita membayar masyair itu full, tapi tidak mendapatkan sepenuhnya fasilitas bagi tiap jemaah haji Indonesia, ini kita bisa minta menuntut ganti rugi kepada pengelola maktab,” ujar Diah.
Setali tiga uang dengan Diah, Wakil Ketua MPR yang juga Anggota Timwas Haji DPR, Yandri Susanto, meminta Pemerintah memasukkan poin-poin hukuman dalam kontrak kerja dengan masyariq untuk pelayanan haji ke depannya. Dia meminta masyariq yang tak menyediakan layanan sesuai kesepakatan harus mengembalikan pembayaran.
“Uang yang dikembalikan dari masyariq, itu nanti dikembalikan lagi ke jemaah haji,” ujar Yandri.
Buruknya pelayanan jemaah haji di Indonesia sebenarnya bukan lah cerita baru. Dari tahun ke tahun ada saja oleh-oleh cerita tak menyenangkan yang dibawa pulang jemaah ke Tanah Air. Namun tentu saja cerita-cerita itu harus diubah. Negara diharapkan mampu mengubah alur cerita jemaah haji Indonesia menjadi berujung bahagia.
(tor/dwia)