Jakarta –
Jaksa Agung ST Burhanuddin memaparkan jumlah nilai kerugian negara yang ditangani terkait kasus korupsi dan TPPU pada 2022 senilai Rp 144,2 triliun. Burhanuddin menyebut hal itu karena tim penyidik melakukan pendekatan perhitungan kerugian perekonomian negara selain kerugian keuangan negara.
“Kejaksaan telah menangani beberapa kasus mega korupsi dengan nilai kerugian negara yang cukup fantastis. Dari data penanganan perkara tindak pidana korupsi pada 2022 yang ditangani oleh Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan, diperoleh nilai total kerugian negara dari perkara korupsi dan TPPU sebesar Rp144,2 Triliun dan USD 61.948.551,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin melalui keterangan yang disampaikan Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana, dalam keterangannya, Kamis (13/7/2023).
Adapun rincian kasus kerugian negara kasus korupsi dan TPPU yang ditangani Kejagung pada 2022 sebagai berikut:
1. Kerugian keuangan negara sebesar Rp34,6 Triliun dan USD 61.948.551,00
2. Kerugian perekonomian negara sebesar Rp109,5 Triliun
“Pendekatan penanganan perkara tindak pidana korupsi melalui pendekatan kesalahan berdasarkan kerugian perekonomian negara, telah memberikan dampak yang signifikan terhadap perhitungan nilai kerugian negara yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana korupsi,” ujar Burhanuddin.
Jaksa Agung mengatakan penerapan unsur kerugian perekonomian negara dapat menjangkau lebih luas terhadap pelaku, maupun kegiatan yang memiliki ruang lingkup multidimensi sosial dan ekonomi masyarakat luas. Selain itu, penerapan unsur kerugian perekonomian negara, yaitu dapat dilakukan tindakan-tindakan yang represif dengan melakukan berbagai penyitaan aset korporasi dan pribadi, termasuk aset yang terafiliasi dengan pelaku beserta keluarganya, serta dapat dilakukan pemblokiran semua rekening pelaku dan yang terafiliasi dengan pelaku tindak pidana.
“Penyitaan aset tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk pengembalian kerugian keuangan negara,” katanya.
Berdasarkan data Laporan Kerja Instansi Pemerintah (LKjIP) pada 2022, Bidang Tindak Pidana Khusus se-Indonesia telah melakukan pengembalian kerugian keuangan negara sebesar Rp 2,7 triliun atau sebesar 62,41% dari jumlah pengembalian kerugian keuangan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yaitu sebesar Rp 4,4 Triliun, serta berkontribusi menyetorkan PNBP ke kas negara sebesar Rp 2,1 Triliun atau 75,71% dari total PNBP Kejaksaan RI sebesar Rp2.781.077.918.631 (triliun).
Lebih lanjut, Burhanuddin mengatakan pembuktian tindak pidana yang merugikan perekonomian negara masih terdapat banyak tantangan, mengingat konsepsi tersebut masih merupakan konsep yang luas. Menurutnya perlu dibatasi dengan memberikan definisi dan penghitungan besaran yang jelas.
“Penentuan kategori kerugian perekonomian negara dapat menjadi salah satu alternatif untuk memberikan kejelasan makna kerugian perkenomian negara itu sendiri. Kategori tersebut dapat ditekankan pada apa yang dimaksud dengan kepentingan ekonomi yang menjadi terganggu akibat adanya tindak pidana yang dilakukan,” kata Burhanuddin.
“Sinergi antar aparat penegak hukum untuk memberikan persamaan persepsi mengenai kerugian perekonomian negara, juga menjadi salah satu hal penting untuk dilaksanakan. Dengan adanya persamaan persepsi antar aparat penegak hukum, maka penegakan hukum terhadap tindak pidana yang merugikan perekonomian negara dapat dilaksanakan lebih efektif dan efisien,” ujar Jaksa Agung.
Selain itu, Jaksa Agung menyebut modus kasus korupsi saat ini tidak hanya bersinggungan dengan kerugian negara, tetapi juga mengakibatkan kerugian perekonomian negara.
“Modus tindak pidana korupsi yang semakin berkembang akhir-akhir ini, membuat penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan tidak hanya bersinggungan dengan perkara yang mengakibatkan kerugian keuangan negara semata, namun juga terhadap perkara yang mengakibatkan kerugian terhadap perekonomian negara, dan dampaknya sangat merusak dan meluas,” katanya.
Lebih lanjut, Burhanuddin menuturkan dampak korupsi telah merusak semua sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karenanya Burhanuddin meminta jajaran Kejaksaan dapat beradaptif terhadap perkembangan tindak pidana korupsi, yaitu dengan menggali mens rea pelaku, modus operandi yang dilakukan, kerugian yang ditimbulkan, serta follow the money guna mencari dan menyelamatkan kerugian negara yang telah timbul akibat perbuatan koruptif tersebut.
Sementara itu dalam tahap penanganan perkara, Burhanuddin menilai semua perkara akan ke tahap pembuktian di persidangan. Sementara itu pada tahap pembuktian. Adapun pada tahap pembuktikan kasus korupsi, merupakan jenis kejahatan yang rumit karena dilakukan secara terstruktur, sistematis, masif, dan tertutup.
Sebab, pada kenyataannya, pelaku tindak pidana korupsi kerap dilakukan oleh orang dengan kemampuan ekonomi di atas rata-rata masyarakat dan pendidikan yang tinggi. Di samping itu, pelaku tindak pidana korupsi juga dikarenakan previlege yang timbul terkait dengan adanya hubungan dengan jabatan strategis yang didudukinya.
Oleh sebab itu, kejahatan kasus korupsi hanya dapat dilakukan oleh orang-orang dalam tataran struktur sosial dan ekonomi tingkat atas, sehingga kejahatan ini juga dikenal sebagai white collar crimes.
“Permasalahan rumitnya pembuktian ini juga dikarenakan rumusan tindak pidana korupsi yang tertuang pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor),” ujar Burhanuddin.
Hal itu disampaikan Burhanuddin dalam acara seminar nasional dengan topik “Optimalisasi Kewenangan Kejaksaan Dalam Penanganan Tindak Pidana yang Merugikan Perekonomian Negara”.
(yld/dhn)