Jakarta –
Rosmala merogoh sela-sela badannya yang hanya berbalut kain. Di situ, ia temui beberapa lembar rupiah yang sengaja diselipkan. Sebagai seorang penari ronggeng jalanan, Rosmala mampu menarik rupiah dari kantong tukang becak, tukang sayur, dan pedagang asongan dengan gerakannya yang lembut tapi sarat dengan ketegasan.
Kolong jembatan jatinegara adalah perhentian terakhirnya. Dalam sehari, ia bersama para pengiring menelusuri jalanan hingga gerbong kereta api. Begitu jelang pagi, pada sebuah sudut titian itu, mulailah Rosmala menghitung hasil perolehannya menari. Berapapun jumlahnya, Rosmala harus membagi perolehan kepada semua rekan kerjanya.
“Disawer lima ribu, dua ribu, tiga ribu, itu kalau sampai jam tiga pagi, aku cuma dapat 10 ribu. Dan itu pun dibagi rata,” kenang Rosmala kepada tim Sosok detikcom, Senin (17/6).
Rosmala mengaku, tindakan ini dilakukannya untuk mendalami kehidupan seorang ronggeng di masa kini. Tidak hanya mendalami para ronggeng yang hidup dari panggung ke panggung saja, tetapi juga ronggeng-ronggeng menyambung hidup dari saweran dari mereka yang juga hidup dari jalanan.
Rosmala Sari Dewi bukanlah penari Jaipong sembarangan. Namanya dikenal luas di kalangan seni olah tubuh itu. Lebih dari 20 tahun, Rosmala bermetamorfosis dari seorang murid tari Jaipong, hingga menjadi penampil di panggung lokal hingga internasional. Tidak hanya menjadi pengalaman belaka, kisahnya menjadi seorang penari di bawah Jembatan Jatinegara pun bertransformasi menjadi catatan penelitian untuk studi S2-nya.
“Panggilan alam aku tuh di tari tradisional. Tapi aku emang gila belajar ya terutama tentang tari, jadi aku tuh orangnya tidak mau berhenti, terus mencari perkembangan tentang tari itu sendiri. Terutama dengan style-style genre tari yang berbagai macam banyak ini. Nah, dulu aku ambil kontemporer di New York itu,” jelas Rosmala.
Napas seni yang bersarang di tubuhnya semenjak belia mendorong Rosmala lebih dalam ke perkembangan seni tari. Ia mengaku sempat mempelajari tari kontemporer di Broadway Dance Center New York. Salah satu fokus Rosmala adalah mempelajari teknik floorwork, yang perlu penyesuaian hubungan gerak tubuh dan gravitasi.
“Aku konsennya di floor work yang di lantai guling-guling itu. Nah waktu itu satu bulan aja dari murid-murid dari luar negeri itu sudah banyak yang patah tulang, biru, ini, demam, sakit,” kenang Rosmala.
Rosmala sendiri akhirnya menyelesaikan studi singkatnya tersebut dan kembali ke Indonesia. Ia bahkan sempat membuka kelas kontemporer untuk membagikan ilmunya tersebut.
Namun, pada 2018, giliran Rosmala mengalami cedera saat mempraktikkan floorwork. Akibatnya, Rosmala tidak bisa bergerak dengan leluasa. Segala metode pengobatan sudah dicobanya, namun nihil, Rosmala tak kunjung pulih. Ia bahkan sempat diperingatkan untuk tidak melanjutkan tari, sebab bisa menyebabkan kelumpuhan.
“Wah, perih Mbak. aku sempat nggak bisa jalan, cuma bungkuk gitu pernah. Aku berhenti saat, karena tubuh aku aja rusak. Kalau aku, maksudnya, kalau nggak dibilang dokter akan lumpuh, mungkin aku terus (menari). Aku pernah sedih, nangis, karena nari itu udah aku cintai, gitu ya. Tapi dengan nari itu juga aku melumpuhkan diri aku,” kenang Rosmala.
Namun, Rosmala tak menyerah. Ia terus mencari jalan menuju kesembuhan demi bisa kembali ke dunia tari yang ia cintai. Akhirnya, Rosmala pun bertemu dengan seorang ahli saraf yang mampu membantunya pulih kembali. Namun, kesembuhannya diikuti sebuah syarat, Rosmala harus memilih satu saja di antara melanjutkan tari tradisional atau floorwork.
“Karena kata dokter, ‘Pilih. Mau tari tradisional apa kontemporer,’ dia bilang gitu. Jadi harus salah satu, jangan dua-duanya dihajar. Ya udah, aku pilih tradisional. Because I love it,” kata Rosmala.
Meski tak lagi mendalami tari kontemporer, Rosmala mengaku lega karena sudah bisa kembali menari tari tradisional. Hal ini tak lepas dari motto hidupnya, yaitu hidup untuk menari dan menari untuk hidup.
Selain itu, Rosmala ingin terus menari tak semata-mata untuk dirinya sendiri. Ia ingin terus mendampingi generasi muda untuk aktif berkreasi dalam melestarikan budaya tari tradisional.
“Menari itu udah batin aku. Menari untuk hidup, hidup untuk menari. Aku (akan) menari sampai menutup mata. Di sanggar ini, aku ingin anak-anak ini tahu tari tradisional kita dulu, baru belajar yang lain. Aku di sini benar-benar ingin ‘meracuni’ dan meng-influence anak-anak untuk belajar tari tradisional,” terang Mala.
(nel/vys)