Jakarta –
Pandangan Rosmala Sari Dewi terkunci pada gerakan tari seorang anak muridnya. Ia memperhatikan tiap tarikan nafas, lenggok tubuh, hentakan kaki, dan kerlingan mata sang murid. Sesekali, Rosmala menari di depan muridnya untuk mencontohkan gerakan yang tepat.
“Juri itu nanti ngelihatnya dari jauh, nggak dari dekat. Mereka ingin lihat tarian kamu bagus atau nggak, bahkan dari jauh. Nanti di rumah latihan juga ya,” ucap Rosmala pada sang murid saat sesi istirahat.
Demikianlah Rosmala mengisi hari-harinya saat tak sedang ada agenda menari di luar. Rosmala biasa mengajar tari di salah satu sanggar tari miliknya, Sanggar Nyi Ronggeng di Depok.
Rosmala berkenalan dengan tari tradisional sejak umur 8 tahun. Kegiatan yang bermula dari pengisi waktu luang tersebut, perlahan berubah menjadi profesi Rosmala seiring berjalannya waktu.
Saat duduk di bangku SMA, Rosmala sudah menjadi guru tari di sebuah sanggar. Tak hanya itu, ia juga tak pernah sepi job di luar sanggar. Masa remaja Rosmala banyak dilalui dengan pentas dari panggung ke panggung, dengan permintaan tari yang hampir selalu sama: tari Jaipong. Dari sanalah, julukan ‘Ronggeng’ tersemat padanya.
“Aku dipanggil Ronggeng karena aku sering nari Jaipong, setiap lomba, setiap job nari, itu selalu nari Jaipong. Dan itu sudah menempel, udah brand aku lah,” aku Rosmala kepada tim Sosok detikcom Senin, (17/6)
Bahkan, Rosmala memilih meneliti kehidupan penari Jaipong untuk pementasan akhir studi pascasarjananya. Pada tahun 2014, lulusan S2 Institut Kesenian Jakarta tersebut pernah tinggal dan ikut menari di kawasan bawah jembatan Jatinegara untuk mengobservasi kehidupan penari Jaipong jalanan.
Dari sanalah, mata Rosmala semakin terbuka dengan realita hidup seniman tari Jaipong. Kondisi ekonomi yang mendesak, upah tak seberapa, belum lagi omongan miring masyarakat lantaran profesi ronggeng yang dianggap negatif.
“Gerakan si Jaipong Ronggeng itu memang seksi, sensual, gitu. (Tapi) aslinya emang nggak macam-macam, cuman orang tuh persepsinya beda-beda. Mereka bekerja menjadi Ronggeng sebenarnya untuk menghidupi keluarganya. Pokoknya, mereka hebat lah. Sudah mendapat cibiran, dapat sawerannya dikit, untuk kirim uang anaknya di Karawang di kampung, buat dia pula, dipotong juga sama ketua sanggarnya,” terang Rosmala.
Usai menyelesaikan studi S2, Rosmala terus mengembangkan karier di bidang tari tradisional. Rosmala kerap terbang dari satu negara ke negara lain untuk pentas maupun kompetisi tari. Hingga kini, ia telah menginjakkan kaki di lebih dari 25 negara berkat profesinya ini. Namanya pun semakin dikenal sebagai penari Jaipong.
Namun, Rosmala menyadari, ia hanya sebagian kecil dari seniman tari tradisional yang hidup berkecukupan dari profesi ini. Memori tentang Ronggeng di bawah jembatan Jatinegara terus ada dalam ingatan Rosmala, seolah mengingatkan bahwa tak semua penari memiliki kesempatan yang sama seperti dirinya.
Oleh karena itu, Rosmala punya cita-cita besar. Rosmala ingin penari tradisional bisa hidup dari menari, seperti dirinya. Suatu hari nanti, ia ingin membangun gedung pertunjukan di Jakarta untuk mewadahi penari-penari di daerah.
“Salah satu cita-cita aku yang aku inginkan, aku mau punya studio atau gedung pertunjukan. Di sini aku mau kayak Broadway. Tiap seminggu kali, dari sanggar yang berbeda. Yang mau nonton itu harus bayar, uangnya buat dia,” tutur Rosmala.
“Aku akan memberikan fasilitas untuk penari-penari atau seniman dari daerah untuk pertunjukan di situ. (Namanya) Gedung Ronggeng!” lanjut Rosmala sembari tertawa.
(nel/vys)