Jakarta –
Mantan anggota Polri yang kini jadi advokat, Arifin Purwanto menggugat UU LLAJ ke Mahkamah Konstitusi (MK). Arifin meminta agar SIM berlaku seumur hidup. Dalam sidang di MK, Irjen Chryshnanda Dwilaksana yang mewakili pihak terkait Polri mengatakan tidak ada perdebatan mengenai masa berlaku SIM.
Pasal yang diuji Arifin yaitu Pasal 85 ayat (2) UU LLAJ yang menyatakan:
Surat Izin Mengemudi berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang.
“Dapat dipahami mengingat norma mengenai masa berlaku SIM selama lima tahun dan dapat diperpanjang sejatinya sudah ada diatur dalam RUU LLAJ dibahas pada 2008 yang diatur dalam Pasal 214 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi (PP 44/1993) yang merupakan peraturan pelaksanaan dari rezim UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang LLAJ,” kata Chryshnanda sebagaimana dilansir website MK, Rabu (26/7/2023).
Menurutnya, hal ini sejalan dengan maksud dan tujuan dalam naskah akademik RUU LLAJ yang dimaksudkan untuk mengkaji kewenangan dan substansi yang masih relevan di bidang LLAJ yang dikaitkan dengan perkembangan otonomi daerah dan tuntutan kebutuhan yang akan datang. Sehingga ketentuan di bidang LLAJ sudah ada dan dinilai masih relevan tidak lagi diperdebatkan terkait masa berlaku SIM.
Chryshnanda menegaskan, pengaturan SIM selama lima tahun dalam UU LLAJ saat ini sejatinya mengembalikan politik hukum penormaan mengenai masa berlaku SIM yang sejak Wegverkeers ordonnantie (WVO) diatur dalam peraturan di level undang-undang. Hal ini tentu sejalan dengan ruang lingkup naskah akademik RUU LLAJ yang berfokus untuk melakukan penambahan materi baru yang belum dimuat pada undang-undang Nomor 14/1992. Dalam hal termasuk muatan masa berlaku SIM yang sebelumnya tertuang dalam Pasal 214 PP 44/1993 untuk kemudian dituangkan pada Pasal 85 ayat 2 UU LLAJ.
Dengan mencermati legal historis tersebut, jelas Chryshnanda, dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi salah satu kajian perbandingan hukum. Berdasarkan waktu atau historical poin of view yang terkait dengan pokok permohonan di mana berdasarkan penalaran yang wajar menjadi hal yang tidak logis menurut hukum untuk menghapus masa berlaku SIM di era sekarang ini.
“Mengingat bila pada 1933 saja sudah ada mekanisme berlaku SIM, padahal tingkat risiko berlalu lintas pada 1933 itu masih terlalu rendah karena jumlah motor belum sebanyak saat ini. Apakah rasional atau beralasan menurut hukum menghapus masa berlaku SIM di era sekarang ini ketika tingkat risiko berlalu lintas sangat tinggi,” lanjut Chryshnanda.
Pembatasan masa berlaku SIM berorientasi pada upaya untuk mengevaluasi Kesehatan dan kompetensi mengemudi pemegang SIM. Bila pada 1933 sudah memiliki politik hukum yang berorientasi pada Kesehatan berlalu lintas dengan pembatasan masa berlaku SIM, apakah hari ini akan terjadi kemunduran politik hukum keselamatan berlalu lintas dengan menghapus masa berlaku sim?
“Berdasarkan uraian di atas, masa berlaku SIM masih sangat relevan diterapkan,” jelas Chryshnanda.
Sedangkan untuk menyiapkan pengemudi dengan kualifikasi kompetensi yang baik dalam mengemudi, UU LLAJ mengatur persyaratan yang harus dipenuhi, di samping persyaratan administratif juga persyaratan usia, kesehatan dan uji kompetensi. Kemudian untuk menjamin keberlanjutan kualifikasi pengemudi yang mampu mewujudkan lalu lintas berkeselamatan, UU LLAJ mengharuskan dua hal yaitu dilakukan evaluasi secara berkala terhadap kesehatan dan kemampuan mengemudi pemegang SIM melalui perpanjangan. Serta adanya pengawasan terhadap perilaku patuh dan tertib berlalu lintas dari setiap pemegang SIM melalui pemberlakuan sistem penandaan SIM.
“Evaluasi kompetensi melalui perpanjangan SIM diperlukan untuk menurunkan tingkat fatalitas kecelakaan dengan memastikan pemegang SIM memang masih memiliki kompetensi dan memiliki kesehatan untuk mengemudikan kendaraan bermotor dalam rangka mencegah dan mengurangi tingkat fatal korban kecelakaan,” tegas Chryshnanda.
(asp/zap)