Jakarta –
Hari ini adalah senin kedua sejak berjalannya proses belajar mengajar tahun 2023 dimulai. Tampak di beberapa sekolah, para murid tampak antusias antre untuk memasuki gerbang sekolah. Seragam-seragam yang mereka gunakan terlihat bersih dan cemerlang. Tidak hanya itu, sepatu hitam polos lengkap dengan kaus kaki panjang mewarnai derap langkah tanpa ragu anak-anak peserta didik baru.
Tampaknya mereka sudah lebih terbiasa dan mengenali sudut-sudut sekolah dibandingkan saat mereka pertama kali memasuki sekolah baru, dua minggu lalu. Pada setiap kelas, mereka pun sudah mengetahui meja mana yang harus dituju. Namun, tanpa mereka sadari bangku-bangku itu bagaikan trofi. Untuk bisa duduk di bangku itu, seorang siswa harus menyisihkan calon siswa lainnya.
Sayangnya, beberapa calon siswa tersingkir dengan cara yang mereka anggap tidak adil. Sebab, mekanisme penerimaan siswa baru tahun ini dianggap belum sempurna untuk dijalankan. Sejak dijalankan pada 2017 lalu, program Penerimaan Peserta Didik Baru selalu mengalami kendala yang sama, tidak terkecuali tahun ini. Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengungkapkan, ada beberapa bentuk praktik kecurangan yang paling banyak dilakukan.
“Dalam 7 tahun kurun waktu evaluasi pelaksanaan PPDB ini, kami mendapatkan 5 masalah utama sebenarnya, yang nanti ada cabang-cabangnya. Yang pertama terkait dengan kondisi sekolah kita itu memang tidak merata. Karena kan memang demografis kita juga demikian. Kemudian juga terkait dengan geografis kita juga sangat luas sekali,” kata Satriwan dalam program Sudut Pandang detikcom Senin, (31/7).
Ia mengatakan, hal ini merupakan faktor utama yang menyebabkan karut-marut sistem zonasi dalam program PPDB. ketidakmerataan Infrastruktur, bagi Satriwan merupakan faktor yang sangat terlihat dan belum dapat diselesaikan hingga saat ini.
“Ketidakmerataan sekolah negeri di wilayah Indonesia itulah yang menjadi salah satu persoalan pokoknya,” tegasnya.
Lokasi sekolah yang jauh dari tempat tinggal memang jarang ditemui di kota-kota besar. Namun, hal ini jamak terjadi bukan hanya di wilayah 3T tetapi juga di kabupaten-kabupaten yang jauh dari pusat kota. Menurutnya, jarak menjadi hambatan besar. Sebab, menurutnya orang tua akan menghitung risiko yang akan dihadapi anak-anak mereka saat bergerak dari rumah menuju sekolah atau sebaliknya.
Perkara lain adalah jumlah sekolah. Menurut Satriwan, ada fakta menarik terkait hal ini. Semakin tinggi jenjang pendidikan sekolah, semakin sedikit pula jumlahnya. Berdasarkan data yang dimilikinya, Satriwan mengatakan bahwa hal ini terjadi di seluruh wilayah Indonesia, tidak terkecuali ibu kota negara.
“Untuk level SMP MTS itu jumlah daya tampung itu hanya 71 ribu, sedangkan jumlah calon siswanya 149 ribu. Jadi daya tampung SMP itu hanya 47, 8%. Untuk SMA, daya tampungnya hanya 28.900, sedangkan jumlah calon siswanya itu 139.000. Nah, daya tampung berarti hanya 20, 69% persen. SMK lebih sedikit lagi, daya tampung hanya 13, 87 persen,” katanya.
Ibarat menaiki sebuah rangkaian kereta api, seseorang yang tidak bisa masuk di gerbong pertama, pasti akan masuk ke gerbong berikutnya dan bertarung dengan penumpang yang sudah mengantri di gerbong kedua itu. Hal inilah yang ingin dikatakan Satriwan. Dengan demikian, tergambar solusi apa yang seharusnya disiapkan untuk menyelesaikan problem ini.
Masalah menjadi kian kusut saat produk kebijakan masa lalu membayang-bayangi masalah yang sudah terlanjur gelap. Satriwan mengatakan, sekolah dengan predikat favorit ternyata masih dikejar oleh para wali murid. Sebab, di sana fasilitas sekolah berikut tenaga pengajar terlanjur memiliki taraf yang lebih baik.
“Kenapa sekolah unggulan itu labellingnya ada? Ya karena sistem kebijakan pendidikan kita yang lampau itu memang mengarahkan ke sana,” tandasnya.
Sementara itu ditemui di tempat berbeda, Irjen Kemendikbud Ristek Chatarina Muliana Girsang mengatakan bahwa sistem zonasi justru perlu digalakkan. Terlepas dari segala kekurangan yang tengah diperbaiki, Girsang mengatakan bahwa sistem terbaru ini dibuat untuk membenahi sistem sebelumnya yang telah berjalan lebih dari lima puluh tahun lamanya.
“Karena anak diseleksi dengan nilai UN, yang dulu EBTANAS, NEM. Jadi kalau dia nggak masuk negeri, maka dianggap anak ini memang kamu nggak layak masuk negeri, karena nilai kamu tidak masuk. Ini kan sebenarnya juga bertentangan dengan konstitusi,” jelas girsang.
Ditanyai soal berbagai masalah menahun saat proses PPDB berjalan, dirinya mengatakan bahwa kementerian terbuka pada setiap masukan. Girsang juga mengatakan bahwa hingga saat ini evaluasi terkait hal ini juga masih dilakukan. Sebelumnya, Chatarina Girsang mewakili Kemendikbud Ristek untuk menggelar rapat dengan Komisi X DPR RI.
Dalam diskusi tersebut, ia mengatakan bahwa sistem zonasi membuka lebih besar kesempatan bagi golongan tidak mampu untuk mengenyam pendidikan di sekolah negeri. Namun, ada dampak positif lain dari praktik sistem zonasi yang saat ini dilakukan yaitu komposisi heterogen dalam hal kemampuan siswa.
“Jadi yang sebelumnya berkelompok yang nilainya semua rata-rata 9, ada lagi yang nilai rata-ratanya jelek semua walaupun sekolah negeri. Dengan adanya sistem ini terjadi adanya perubahan yang sangat signifikan. Jadi sekolah yang semua isinya anak yang pandai saja, sekarang lebih bervariasi,” ungkapnya dalam rapat Bersama Komisi X (13/7).
Menindaklanjuti tentang adanya berbagai kendala dalam proses PPDB, Girsang mengatakan bahwa kepala daerah memiliki peranan penting dalam menyukseskan program ini demi pemerataan pendidikan bagi anak-anak di daerah masing-masing.
“Penyelenggaraan PPDB ini adalah sebenarnya tanggung jawab kepala daerah. Memang kami punya kewenangan untuk menetapkan regulasi sebagai NSPK, Norma Prosedur Standar, dan kriteria yang berlaku bagi seluruh daerah dengan melihat fleksibilitas atas permasalahan-permasalahan di daerah atau keunikan-unikan di daerahnya misalnya demografi ya penyebaran demografi dan sebagainya,” tutupnya.
(vys/vys)