Jakarta –
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengatakan tak paham soal istilah ‘dana komando’ di kasus suap Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas) Marsdya Henri Alfiandi. Dia lalu menuturkan meminta ‘dana komando’ tak boleh.
“Saya nggak tahu masalah yang itu,” kata Yudo pada wartawan di Rumah Dinas Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Rabu (2/8/2023).
Seperti diketahui istilah ‘dana komando’ muncul dalam kasus suap proyek pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan di Basarnas. Yudo menegaskan pihaknya mengetahui istilah tersebut dari KPK memeriksa para tersangka.
Ia hanya menegaskan tak memperbolehkan setiap prajurit meminta uang suap apapun istilahnya. “Meminta ‘uang komando’ kan nggak boleh. Meminta ‘uang komando’ bagaimana maksudnya?,” tanya Yudo.
Yudo lantas mengatakan selama ini internal TNI selalu diawasi oleh inspektorat jendral (Irjen) sebagai pengawas. Kemudian, TNI juga diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama enam bulan sekali.
Yudo Margono juga memastikan pihaknya tidak akan melindungi Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi atas dugaan suap.
“Makanya saya minta pada masyarakat jangan punya perasaan seolah-olah (kasus suap) diambil TNI, (Kabasarnas) dilindungi, tidak. UU-nya memang begitu. Jadi kami ini tunduk pada UU,” tuturnya.
Yudo juga menegaskan TNI objektif dalam menangani kasus ini. Ia mempersilakan publik untuk mengawasi.
“Saya jamin objektif. Karena memang itu sudah kewenangannya. Boleh dikontrol. Kan, sekarang ini di luar enggak bisa disembunyikan seperti itu,” ungkapnya.
Menurutnya, pengadilan militer sudah teruji dalam menangani berbagai kasus tindak pidana yang melibatkan anggotanya. Ia mengatakan, Puspom memang dibentuk untuk menyidik tindak pidana yang terjadi di militer.
“Ada UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, kan, jelas. UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sudah jelas peradilan umum selama tidak ada ketentuan UU baru yang mengatur UU 31 Tahun 1997. Jadi masih tunduk pada peradilan militer,” jelasnya.
(aud/aud)