Depok –
Tarif pelayanan puskesmas di Kota Depok, Jawa Barat (Jabar), yang mengalami kenaikan ramai dibahas di media sosial (medsos). Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Depok Mary Liziawati mengungkapkan alasan kenaikan tarif pelayanan puskesmas tersebut.
Mary mengatakan kenaikan itu berdasarkan terbitnya Peraturan Wali Kota (Perwal) Nomor 64 tahun 2023 tentang Pedoman Umum dan Penetapan Tarif Pelayanan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Puskesmas Kota Depok. Perwal itu diterbitkan pada 31 Juli 2023 yang menyebutkan kenaikan tarif berlaku pada 7 Agustus 2023.
“Perlu saya sampaikan bahwa Perwal ini penyesuaian tarif kita sering sampaikan penyesuaian tarif ini belum berlaku di 1 Agustus 2023 kemarin. Karena kami sepakat di tanggal 1 sampai 6 Agustus 2023 adalah masa sosialisasi untuk diberikan informasi kepada masyarakat luas. Dan akan kami berlakukan di tanggal 7 Agustus tahun 2023 nah ini mohon untuk bisa dipahami bersama,” ujar Mary kepada wartawan melalui Zoom Meeting, Rabu (2/8/2023).
Mary menjelaskan kenaikan tarif ini disebabkan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok memiliki regulasi yang mengatur tarif pelayanan kesehatan di Puskesmas Kota Depok yang tertuang dalam Perwal Nomor 61 Tahun 2016. Dia mengatakan penyesuaian tarif dilakukan karena puskesmas sudah menjadi BLUD.
“Jadi perwal ini terbit tahun 2016 didasari karena puskesmas sudah menjadi BLUD sehingga perlu ada penetapan tarif. Ketika puskesmas belum menjadi BLUD ya namanya retribusi, kita menggunakan perda. Jadi sebelum itu, di tahun 2010 kita punya Perda Nomor 10 Tahun 2010 tentang pelayanan kesehatan dasar dan tarif retribusi dasar di puskesmas,” ujarnya.
Mary menjelaskan, sebelum menjadi BLUD, puskesmas masih memberlakukan retribusi berdasarkan Perda Nomor 10 Tahun 2010. Saat menjadi BLUD, puskesmas menggunakan tarif Perwal Nomor 16 Tahun 2016.
“Nah sejak perda maupun dengan perwal, sejak retribusi maupun dengan tarif ini pendaftaran puskesmas masih Rp 2.000 ini perlu dipahami. Puskesmas saat ini sudah menjadi BLUD, sehingga dengan BLUD, maka diharapkan puskesmas bisa memenuhi standar biaya operasional yang menjadi beban untuk operasional puskesmas secara mandiri,” ujarnya.
“Diharapkan seperti itu dengan (menjadi) BLUD, tidak menggantungkan kepada APBD. Sehingga dengan tarif retribusi yang belum berubah, kalau kami mengacu kepada perda 2010 tadi, ya sebelum 2010 juga informasi dari teman-teman puskesmas, tarifnya juga sudah Rp 2.000,” lanjutnya.
Mary menegaskan pihaknya sudah melakukan kajian banding tarif pelayanan kesehatan puskesmas di sekitar Depok, yaitu Cirebon, Tangsel, Bogor, Bekasi, serta wilayah perbatasan Jakarta Selatan. Hasilnya, tarif pelayanan puskesmas di Depok paling rendah.
Jadi perlu ada penyesuaian tarif untuk meningkatkan mutu layanan puskesmas. Serta mendukung atau mendorong masyarakat menggunakan layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau Kartu Indonesia Sehat (KIS).
“Berikutnya, untuk mendorong masyarakat supaya mengikuti program JKN, Jaminan Kesehatan Nasional, atau KIS. Karena selama ini masyarakat merasa belum memerlukan karena kalau sakit ke puskesmas Rp 2.000 kok, sementara kalau sakit parah, dirujuk ke RS, mereka tinggal bansos,” ujarnya.
“Padahal secara kemampuan, mungkin untuk mengikuti JKN untuk membayar premi KIS, Rp 35 ribu per bulan, itu bisa. Tapi masyarakat belum memprioritaskan, ini menjadi salah satu pembelajaran kepada masyarakat supaya lebih memerhatikan kesehatan,” lanjutnya.
“Harus dijaga supaya tetap sehat. Salah satu upaya kita yang sudah menjadi prioritas Pemkot Depok yakni mencapai UHC di 2024. kami upayakan universal health coverage. Berarti 98 persen warga Depok sudah mengikuti JKN atau memiliki KIS,” tambahnya.
(jbr/jbr)