Jakarta –
Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) tidak lolos mengikuti Pemillu 2024. Buntutnya, sejumlah anggota DPRD dari PKP mengajukan gugatan UU Pemda ke Mahkamah Konstitusi (MK). Apa sebabnya?
Ketiga anggota DPRD itu adalah anggota DPRD Kabupaten Timor Tengah Selatan NTT Sefriths Eduard Dener Nau, anggota DPRD Kota Mataram NTB Misban Ratmaji dan anggota DPRD Kampar Riau Kardinal. Karena partainya tidak bisa ikut Pemilu 2024, maka harus pindah partai agar bisa terus berpolitik.
Namun terdapat ganjalan karena harus mengundurkan diri sebagai anggota DPRD. Hal itu sesuai dengan Pasal 193 ayat (2) huruf i yang berbunyi:
Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila menjadi anggota partai politik lain.
Karena merasa dirugikan hak konstitusionanya, mereka menggugat UU Pemda itu ke MK.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Pasal 193 ayat (2) huruf i UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi permohonan pemohon yang dilansir dalam website MK, Minggu (6/8/2023).
Pasal 193 ayat (2) huruf i dinilai pemohon bertentangan dengan UUD 1945 yaitu:
Pasal 1 ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Pasal 22E ayat (1) berbunyi: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.”
Pasal 27 ayat (1) berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;
Pasal 28, berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”;
Pasal 28D ayat (1) berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
Pasal 28D ayat (3) berbunyi: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”;
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis;
“Berlakunya Pasal 193 ayat (2) huruf i UU Pemerintahan Daerah tersebut, jika tidak dinyatakan tidak mengikat oleh MK, menyebabkan para Pemohon tidak dapat melanjutkan pengabdian sebagai wakil rakyat umumnya, khususnya wakil konstituen para pemohon, hingga purna tugas di tahun 2024,” beber pemohon.
Menurut pemohon, para Pemohon masih berkeinginan untuk menjadi calon anggota legislatif di daerah kabupaten/kota pada Pemilu Tahun 2024. Namun dengan adanya pasal a qui, maka menyebabkan para pemohon kehilangan status, hak dan kewenangan sebagai anggota legislatif yang terpilih dalam Pemilu 2019.
“Seharusnya ‘pemberhentian’ sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 193 ayat (2) huruf i UU Pemerintahan Daerah a quo hanya dapat diberlakukan bagi anggota legislatif yang partai politiknya adalah peserta Pemilihan Umum Tahun 2024, dan tidak berlaku bagi para Pemohon yang partai politik asalnya bukan lagi sebagai peserta Pemilu Tahun 2024,” pungkas pemohon.
Permohonan itu sudah didaftarkan ke MK dan masih diproses di kepaniteraan.
(asp/whn)