Jakarta –
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Reliantoro, menjelaskan penyebab polusi udara di Jakarta. Sigit mengatakan pencemaran udara Jakarta meningkat sejak Juni karena dipengaruhi angin dari wilayah timur.
“Jadi kalau dari segi siklus memang bulan Juni, Juli, Agustus itu selalu terjadi peningkatan pencemaran di Jakarta karena dipengaruhi oleh udara dari timur yang kering,” kata Sigit di Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Kebon Nanas, Jakarta Timur, Jumat (11/8/2023).
Sigit kemudian membeberkan sumber emisi yang memicu polusi udara Jakarta. Dia mengatakan sektor transportasi menyumbang emisi terbesar, yakni 44 persen.
“Jadi kalau dari segi bahan bakar yang digunakan di DKI Jakarta itu bahan bakar itu adalah sumber emisi, itu adalah dari batu bara 0,42%, dari minyak itu 49%, dan dari gas itu 51%. Kalau dilihat dari sektor-sektornya maka transportasi itu 44%, industri 31% industri energi, manufaktur 10%, perumahan 14% dan komersial 1%. Ini lebih didetailkan lagi oleh kajian tersebut bahwa kalau SO2 (sulfur) memang berasal dari PLTU, manufacturing. Jadi manufacturing, pembangkit tenaga listrik dari industri manufacturing 61,96%. Kalau yang lainnya NoX, Co PM 10, PM 2,5, black karbon kemudian organik karbon itu sebagian besar disebabkan oleh kendaraan bermotor,” ujarnya.
Dia mengatakan peluang terbesar untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta harus dilakukan di sektor transportasi. Dia mengatakan hal itu berasal dari masukan dan saran Guru Besar ITB, Prof Puji Lestari.
“Kalau dilihat di chart terlihat bahwa peluang terbesar untuk memperbaiki kualitas udara itu adalah kalau kita menyentuh dari sektor transportasi baru kemudian dari reliable energi atau alat pengendali pencemaran di industri. Sisanya ini tidak terlalu signifikan di DKI itu dari pengendalian peternakan, kemudian mencegah pembakaran sampah langsung, kemudian mengganti kayu dan minyak dengan gas untuk kompor kompor listrik,” ujarnya.
Dia kemudian mencontohkan upaya Thailand saat mengurangi polusi udara di Bangkok. Dia mengatakan pengurangan penggunaan bahan bakar hingga pembatasan kendaraan bermotor memberi efek positif bagi upaya Bangkok mengurangi polusi.
“Kemudian juga kajian di DKI, kita juga belajar apa yang sebenarnya dilakukan di luar negeri untuk memperbaiki emisi. Misalnya di Bangkok itu dulu nomor satu di dunia untuk pencemarannya tapi sekarang sudah berhasil, karena menerapkan teknologi kendaraan bersih kemudian meningkatkan program inspeksi dan perawatan, mengurangi kandungan sulfur dalam bahan bakar, pemanfaatan lahan dan transportasi yang baik dan pembatasan kendaraan bermotor itu yang dilakukan di Bangkok dan kita juga dari hasil kajian disarankan untuk meniru beberapa rekomendasi penelitian di atas,” ujarnya.
Dia mengatakan perbaikan kualitas udara di Jakarta juga harus melibatkan daerah di sekitar Jakarta. Dia menyebut salah satu upaya yang telah dilakukan yakni melakukan uji emisi bersama pada 5 Juni 2023 lalu.
“Salah satu rekomendasi yang paling penting yang dilihat dari ITB maupun Vita Strategis adalah yang di kendaraan bermotor. Yang akan kita lakukan adalah mulai melakukan kampanye dan mungkin juga akan segera dilakukan enforcement untuk uji berkala kendaraan bermotor. Tanggal 5 Juni kemarin sudah melakukan uji bersama besar-besaran tidak hanya di DKI tetapi di semua Jabodetabek,” kata Sigit.
“Dari situ kita juga belajar ternyata pendekatan pencemaran udara di Jakarta tidak cukup dilakukan oleh pemerintah DKI harus melibatkan ring daerah sekitarnya sehingga kita melakukan koordinasi pertama tanggal 18 Juli dengan seluruh Jabodetabek karena tadi rekomendasi utamanya adalah uji emisi maka kita juga sudah melakukan upaya-upaya serentak untuk melakukan uji emisi,” tambahnya.
(haf/haf)