Jakarta –
Pabrik batu bara raksasa hingga pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara menjadi sorotan di tengah kualitas udara Jakarta memburuk. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap pantauan polusi via satelit.
Hal itu dijelaskan oleh Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro saat media briefing di Kementerian LHK, Jakarta Pusat, Minggu (13/8/2023). Mulanya, Sigit mengatakan persentase penggunaan bahan bakar batu bara di Jakarta hanya sebesar 0,42 persen.
“kalau asumsinya pencemaran adalah dari pembakaran energi yang kita gunakan maka sebetulnya ini sumber energi di Jakarta, batu bara itu 0,42%, sebagian besar dari gas, sebagian besar dari minyak. Kemudian siapa yang menyebabkan emisi? 44% adalah transportasi, energi perumahan, manufaktur, dan dari kegiatan komersial di gedung untuk sumber energinya,” kata Sigit kepada wartawan.
Sigit juga memaparkan hasil pemantauan polusi udara di wilayah sekitaran Jakarta menggunakan satelit.
“Nah kalau dilihat lebih detail di Jakarta, maka kita lihat sebagian besar di Jakarta dan ada pencemaran di hinterland-nya di Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang, dan Tangerang Selatan. Nah ini (peta bagian kiri berwarna merah pekat) terlihat adalah PLTU Suralaya. Sementara (kiri Suralaya) adalah Selat Sunda. Kemudian ini (peta bagian kanan berwarna merah pekat) adalah Jakarta,” terang Sigit.
Pantauan polusi via satelit di kawasan PLTU dan Jakarta. (Foto: Silvia/detikcom)
|
Sigit kemudian mengungkap hasil modelling terkait pencemaran polusi. Dia mengatakan polusi di sekitaran PLTU Suralaya tak berkaitan dengan pencemaran di Jakarta, melainkan mengarah ke Selat Sunda.
“Terlihat, ndak ada hubungannya PLTU dengan Jakarta. Ini (pencemaran) sifatnya banyak sumber emisi di lokal,” ungkap Sigit.
“Ini terkonfirmasi arah angin dari sini, kita juga sudah membuat modelling, penyebarannya memang terkonfirmasi sebagian besar justru ada di Selat Sunda, tidak banyak yang berpengaruh di Jakarta,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Sigit pun mengatakan pihaknya sudah bersepakat dengan wilayah penyangga (hinterland) DKI Jakarta untuk inventarisasi emisi yang mendetail. Tujuannya, kata Sigit, agar diketahui biang kerok polusi udara di daerahnya.
“Kemarin 5 Juni, kita sudah buat kesepakatan dan dari kajian ini sudah kita melihat bahwa di daerah hinterland perlu dilakukan inventarisasi emisi yang lebih detail lagi untuk mencari karakteristik sumber pencemaran di daerah sekitarnya, apakah sama dengan Jakarta atau berbeda. Atau justru mereka banyak ari industrinya yang banyak menggunakan bahan bakar yang belum ramah lingkungan,” kata Sigit.
(idn/knv)