Jakarta –
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar buka suara ihwal konsentrasi polusi udara di DKI Jakarta yang disebut tinggi pada pukul 03.00-04.00 WIB. Siti mengatakan tingginya polusi udara itu lantaran polusi udara yang bercampur dengan uap air pada jam-jam tersebut.
“Yang waktu heboh kan ambilnya jam 03.00 pagi. Terang aja padet karena kan ada uap air juga kecampur,” kata Siti dalam jumpa pers usai rapat terbatas soal polusi udara bersama Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (14/8/2023).
Siti mengatakan ada sistem tertentu yang digunakan untuk mengukur kualitas udara. Ada sistem yang menghitung rata-rata kualitas udara dalam satu hari. Ada juga yang berdasarkan waktu pengambilan.
“Kemudian soal kualitas hari Minggu atau bukan dan sebagainya. Jadi kita kalau ngukur kualitas udara itu ada sistemnya. Ada yang sistemnya yang dihitung rata-rata satu hari. Atau ada yang dihitung waktu ambilnya jam berapa,” tuturnya.
Selain itu, kata Siti, sistem pemantauan pencemaran udara antara KLHK dengan IQ Air–perusahaan teknologi Swiss yang memberdayakan individu, organisasi, dan pemerintah untuk meningkatkan kualitas udara melalui informasi dan kolaborasi–juga berbeda.
Dia mengatakan, jika IQ Air menggunakan data polusi udara PM 2,5 dari stasiun pemantauan kualitas udara berbasis darat, KLHK menggunakan pemantauan kualitas udara ambiens.
“Kita di Indonesia itu menemukan 3 model yang muncul. Pertama model IQAir. IQAir ini dia pakai PM 2,5. Itu artinya partikel-partikel dengan ukuran 2,5 mikron. Itu yang jadi ukuran itu jadi polusi berapa banyaknya. Kemudian air quality index visual map. Jadi kalau kita perbandingkan ada lagi yang punya KLHK itu namanya pemantauan kualitas udara ambiens. Ini beda-beda dalam arti sebetulnya arahnya sama mau lihat kualitas udara cuma pakai faktor apa,” papar dia.
“Kalau yang tadi pakainya partikel material 2,5 mikrogram, kalo di alat KLHK ada 7 parameter. Nah kita punya 56 ditambah 22 stasiun pengamatan. Kenapa? Ini sejak 2015 kita khususkan pengadaan itu kita kerja keras untuk itu karena kita kena karhutla. Jadi waktu itu ditetapkan bahwa indeks standar pencemaran udara menjadi alat kontrol dari kondisi karhutla. Gitu ceritanya. makanya kita punya cara sendiri,” imbuh Siti.
Karena itu, Siti meminta warga untuk tidak ‘menelan mentah-mentah’ informasi yang ada. Dia meminta warga untuk mengecek terlebih dahulu sistem yang digunakan dalam menghitung kualitas udara tersebut.
“Oleh karena itu memang ketika kita lihat angka-angka itu kita mesti cek dia ambilnya jam berapa, apakah ukuran untuk 1 hari, terus dia naruh alatnya gimana. Itu sudah ada standar nasional untuk penempatan alat. Ini tahun 2005 sudah diatur. Tapi dengan perkembangan situasi 2015 sampai dengan sekarang berarti perlu dicek lagi standar alatnya juga. Dikalibrasi, standardnya seperti apa. Kami sudah diskusi dengan BSN dan mudah-mudahan ini dalam waktu dekat akan kita finalisasi. Jadi gambarannya seperti itu ya,” tutur dia.
(mae/knv)