Jepang membuang lebih dari satu juta ton air radioaktif yang telah diolah dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) non-aktif Fukushima ke Samudra Pasifik. Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia Retno Marsudi meminta transparansi dan monitoring dalam pembuangan limbah PLTN Fukushima ini.
“Ada dua kunci yang Fukushima, satu adalah mengenai masalah transparansi dan prosesnya, yang kedua dari sisi monitoringnya,” kata Retno kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/8/2023).
Retno menyebut pengawasan mesti dilakukan bersama dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Semua pihak disebut perlu bekerja sama.
“Yang kedua dari sisi monitoringnya dan semuanya itu memang harus dilakukan bersamaan dengan IAEA. Jadi itu posisi Indonesia bersama dengan IAEA,” ucap Menlu.
“Jadi itu posisi Indonesia yang terkait dengan Fukushima: transparansi, monitoring, bekerja sama dengan IAEA,” sambungnya.
Diketahui, air itu sebelumnya digunakan untuk mendinginkan reaktor radioaktif PLTN Fukushima Daiichi yang dihantam tsunami pada 2011. Air pengolahan ini telah disimpan dalam tangki di PLTN Fukushima selama lebih dari satu dekade, tetapi tempat penyimpanan tersebut telah kehabisan ruang.
Peneliti senior bidang nuklir di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Djarot Sulistio, mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu khawatir akan potensi bahaya yang dapat muncul dari pelepasan air olahan bekas PLTN Fukushima.
“Indonesia saya kira tidak perlu khawatir. Karena kita punya sistem untuk mengecek apakah ini oke atau tidak, apakah ikan atau produk-produk laut dari sekitar Fukushima itu ada kontaminasi atau tidak,” ungkap Djarot kepada BBC News Indonesia.
Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.