Utang piutang menjadi salah satu pertanyaan paling banyak ditanyakan ke detik’s Advocate. Banyak yang bertanya-tanya, bagi yang punya piutang, apakah menagihnya bisa dengan jalur pidana. Tapi bagi yang punya utang, ketakutan bila telat bayar utang bisa masuk penjara. Bagaimana sebetulnya status hukumnya?
Di luar masalah utang-piutang, pembaca detikcom juga bisa mengajukan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com.
Bagi pemilik piutang, kerap menyebut perbuatan nunggak bayar utang adalah tibu-tipu. Pemilik piutang lalu melaporkan ke kepolisian dengan delik penipuan. Lalu apakah nunggak bayar utang bisa dipenjara?
Berdasarkan Yurisprudensi Nomor 4/Yur/Pid/2018, Mahkamah Agung (MA) menyebutkan tegas bila nunggak utang bukan penipuan sepanjang bisa dibuktikan tidak ada itikad buruk. Hal itu tertulis tegas yaitu:
Para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan,kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan itikad buruk/tidak baik.
Latar Belakang
Konsep perjanjian pada dasarnya adalah hubungan keperdataan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Apabila orang yang berjanji tidak memenuhi janji yang telah ditentukan, maka berdasarkan Pasal 1365 BW, orang tersebut dapat disebut telah melakukan wanprestasi atau cidera janji.
Namun,pada praktiknya, ada orang-orang yang dilaporkan ke Polisi karena tidak memenuhi janji yang telah ditentukan. Umumnya, pihak pelapor merasa bahwa oran gtersebut telah menipu pelapor karena janji yang harus dilaksanakan ternyatatidak dipenuhi, padahal pelapor telah menyerahkan barang dan/atau uang kepadaorang tersebut.
Kondisi ini menimbulkan permasalahan hukum kapan seseorang yang tidak memenuhi sebuah perjanjian dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga penyelesaian perkaranya harus dilakukan secara perdata, dan kapan orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan penipuan yang penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana.
Apa Sikap MA?
Atas permasalahan tersebut, Mahkamah Agung telah konsisten berpendapat bahwa apabila seseorang tidak memenuhi kewajiban dalam sebuah perjanjian, di mana perjanjian tersebut dibuat secara sah dan tidak didasari itikad buruk, maka perbuatan tersebut bukanlah sebuah penipuan, namun masalah keperdataan, sehingga orang tersebut harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.