Jakarta –
Sekitar 25 anak duduk melingkar di sebuah aula. Dalam tawa riang, sesekali tersungging mimik canggung. Beberapa bocah kecil itu merasa asing dengan alat-alat permainan yang tengah mereka gunakan.
Sebagian terlihat seperti baru melihat secara langsung alat permainan tradisional. Gasing menjadi primadona anak-anak lelaki penghuni Panti Asuhan Uswatun Hasanah Cengkareng. Sementara itu, tanpa aba-aba, anak-anak perempuan dengan girang bermain lompat tali karet. Beberapa jenis gim seperti telepon kaleng dan damdas juga dipraktikkan sore itu
“Waktunya ganti kelompok!” seru seorang pemandu, menggunakan pengeras suara.
Pemandu itu adalah Aghnina Wahdini, pendiri komunitas Traditional Games Returns (TGR). Bersama dengan para relawan lain, ia juga mengajak Putri Anak Indonesia Jakarta 2023, Ry Hyori, untuk turut serta mensosialisasikan mengenai permainan tradisional kepada anak-anak.
“Kebetulan ini adalah program kemitraan atau program dukungan dari TGR untuk seorang Putri Anak Indonesia Jakarta. Nah influencer tentang permainan tradisional tuh mungkin masih sedikit jumlahnya jadi dengan adanya anak ini, namanya Hyori, semoga bisa juga menjadi inspirasi bagi teman-teman sebayanya untuk bermain permainan tradisional,” terang Nina di program Sosok detikcom Senin, (11/9).
Traditional Games Returns (TGR) merupakan komunitas yang aktif melestarikan berbagai permainan tradisional. Nina menjelaskan, tak hanya permainan tradisional khas Indonesia, TGR juga mengenalkan permainan dari berbagai belahan dunia, seperti Kendama khas Jepang, Tarik Upih dari Malaysia, dan lain-lain.
Tujuh tahun menyalurkan mimpi lewat TGR, Nina terus bertahan hanya dengan berpegang pada satu tujuan. Ia tak ingin anak-anak di sekitarnya kekurangan opsi bermain, seperti di masa kecilnya dulu.
“Aku justru waktu kecil banyak main mainan yang emang ada di toko, bukan mainan tradisional. Aku merasa, ya ampun kecilku rugi ya nggak tahu mainan-mainan kayak gini. Mainan dari daun aja bisa jadi mainan, dari batang segala macem bisa jadi mainan. Ini aku ke mana aja (semasa) kecil?” kenang Nina.
Tak ingin anak-anak kecil melewatkan masa-masa menyenangkan untuk bermain, Nina pun dengan gigih mempertahankan komunitas permainan tradisional ini. Tak terasa, waktu tujuh tahun pun berlalu.
Acara di Panti Asuhan Uswatun Hasanah merupakan satu dari dua jadwal acara yang diselenggarakan Nina dan TGR pada pekan ini. Nina mengaku, kini TGR hampir selalu disibukkan oleh berbagai acara bermain bersama tiap pekannya.
Berbeda dengan saat ini, mulanya Nina mengaku tak banyak yang mendukung idenya mendirikan TGR. Selain karena permainan tradisional dianggap sudah tak relevan, kegiatan sosial seperti TGR dianggap tak akan memberi keuntungan apa-apa.
“Banyak orang yang mencemooh atau tidak percaya. ‘Ngapain sih kerja sama relawan, nggak akan lama! Lu nggak akan dapet untung apa-apa, nggak dapet duit!’ gitu, selalu aja dikaitkan dengan skala kepuasannya tuh selalu dikaitkan dengan uang. Ya maksudku kalau memang prioritasnya ke uang, jangan jadi relawan, jadilah karyawan,” jelas Nina.
Celaan itu kian terasa berat, apalagi beban biaya operasional yang mahal juga menjadi kendala saat pandemi masih melanda. Meski demikian, Nina berusaha tegar. Ia masih percaya bahwa nilai berharga dari kegiatan sosial seperti TGR tak hanya berupa keuntungan materiil semata.
“Kalau misalnya untuk gerakan-gerakan sosial, kalau misalnya bukan dari orang-orang yang peduli trus tiba-tiba bikin inisiasi mau siapa yang mau ngegerakin gitu kalau semuanya hanya menunggu, menunggu, menunggu. Oh nanti bakal ada si ini kok yang bikin program ini, nggak akan ada kalau kita nya nggak mulai. Makanya cemoohan-cemoohan itu ya udah kita biarin aja lah, yang penting masih banyak orang yang mau bergabung,” terang Nina.
Kesabaran dan kegigihan Nina berbuah manis. Kini, relawan TGR sudah mencapai 130 orang di seluruh Indonesia. Bergabungnya para relawan tersebut seakan mengembalikan keyakinan Nina, bahwa masih banyak orang yang peduli pada misi sosial melestarikan permainan tradisional.
Nina sendiri mendapat banyak pelajaran berharga dari kegiatan yang ia lakukan bersama dengan TGR. Nina yang mulanya takut dengan anak kecil, kini bisa menjadi kakak pendamping yang luwes menemani anak-anak bermain. Tak hanya itu, Nina juga mendapat ‘bayaran’ yang tak ternilai harganya, yaitu melihat momen kebersamaan anak-anak dan orang tua saat kegiatan TGR berlangsung.
“Banyak juga cerita-cerita orang tua yang berterimakasih karena akhirnya anak-anaknya bisa kenal permainan tradisional, ‘Ya Allah, kenapa aku nggak ngenalin ya sama anak-anakku sendiri?’ gitu. Karena orang tua juga bilang kayak nggak nyangka ya ternyata dua jam main sama kalian tuh bener-bener nggak ngeliat handphone, karena memang terlalu asik sama anaknya. Akhirnya orang tua pun bersyukur, anak-anak juga jadi senang,” tutur Nina.
(nel/vys)