Jakarta –
Aquarius Musikindo dan penyanyi menggugat UU Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta UU Hak Cipta lebih ketat melawan pembajakan di dunia maya dalam bentuk platform layanan digital (digital service platform).
Aquarius Musikindo membeberkan UU Hak Cipta awalnya dibentuk untuk mengantisipasi pembajakan dalam dunia nyata. Namun belakangan, pembajakan dalam platform digital malah lebih parah dibandingkan di dunia nyata.
“Artinya media riil seperti kaset, CD, DVD itu sebenarnya tidak seberapa, dibandingkan dengan pemerkosaan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual-red) yang ada di dunia maya, justru ini yang kurang dapat perhatian dari pemerintah,” kata pengacara Aquarius Musikindo, Ignatius Supriyadi, dalam sidang MK yang disiarkan di chanel YouTube MK, Senin (11/9/20230.
Ignatius Supriyadi mengakui revisi UU Hak Cipta bisa saja dilakukan lewat DPR. Tapi menurutnya butuh proses yang lama, padahal pembajakan digital sangat cepat.
“Hukum itu bersifat statis, rumusannya bersifat statis, yang tentu perlu menyesuaikan perkembangan zaman yang terjadi, yang selalu dinamis. Dan kami melihat bahwa dalam proses itu, maka proses legislasi kiranya akan sangat memakan waktu yang cukup lama dan bahkan belum tentu kapan itu akan terjadi, sehingga dalam waktu dekat, dalam kondisi yang sangat urgen dan mendesak seperti ini, proses legislasi bukanlah menjadi pilihan terbaik bagi kami,” beber Ignatius Supriyadi.
Sebagaimana diketahui, Aquarius menggugat Pasal 10 dan Pasal 114 UU Hak Cipta. Pasal 10 itu berbunyi:
Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya.
Sedangkan Pasal 114 menyatakan:
Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/ atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Aquarius meminta MK memberikan penafsiran lebih luas terhadap Pasal 10 menjadi:
Pengelolaan tempat perdagangan dan/atau platform layanan digital berbasis user generated content (UGC) dilarang membiarkan penjualan, penayangan, dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan dan/atau layanan digital yang dikelolanya.
“Dengan dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 4 miliar,” demikian permohonan Aquarius.
Aquarius menyebutkan perkembangan teknologi kini sangat cepat. Saat ini muncul penyediaan platform layanan digital dalam bentuk aplikasi berbagi (sharing app), platform video pendek (short video creation app), layanan host video pendek (video hosting service) dan/atau layanan sejenisnya yang secara keseluruhan disebut platform layanan digital (digital service platform). Konten itu kemudian di-share di media sosial.
“Aturan yang ada belum dapat memberikan kepastian hukum yang adil bagi Pemohon oleh karena tidak dapat menuntut pertanggungjawaban penyedia platform layanan digital mengingat platform layanan digital tidak termasuk dalam kategori pengelola tempat perdagangan,” ujarnya.
(asp/dnu)