Mantan Direktur Utama (Dirut) Pertamina Karen Agustiawan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi liquefied natural gas (LNG) atau gas alam cair. Karen langsung ditahan.
Karen dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berikut sejumlah fakta terkait penahanan Karen:
1. Ditahan di Rutan KPK
Karen ditetapkan tersangka Selasa (19/9) malam. Berdasarkan pantauan detikcom, di gedung KPK, Jakarta Selatan, Karen telah mengenakan rompi tahanan.
“Dan menetapkan tersangka GKA atau KA. Direktur Utama PT Pertamina periode 2009-2014,” kata Ketua KPK Firli Bahuri.
Karen akan menjalani penahanan 20 hari pertama di Rutan KPK. Dia ditahan hingga 8 Oktober mendatang.
2. Rugikan Negara Rp 2,1 T
Kasus korupsi itu mengakibatkan kerugian negara hingga triliunan rupiah. Jika ditotal negara merugi Rp 2,1 triliun.
“Dari perbuatan GKK alias KA menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar USD 140 juta yang ekuivalen dengan Rp 2,1 triliun,” kata Firli.
3. Duduk Perkara
Kasus ini bermula saat PT Pertamina memiliki rencana pengadaan LNG di Indonesia pada 2012. Wacana tersebut dipilih kala itu sebagai upaya mengatasi defisit gas di Indonesia.
Karen, yang diangkat menjadi Dirut PT Pertamina periode 2009-2014, mengusulkan kerja sama dengan sejumlah produsen dan supplier LNG di luar negeri, di antaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaxcition (CCL), perusahaan LLC dari Amerika Serikat.
KPK lalu menjelaskan peran Karen dari kasus yang kemudian berakhir kerugian negara. Karen, kata KPK, diduga mengambil keputusan secara sepihak tanpa melakukan kajian secara menyeluruh.
“Saat pengambilan kebijakan dan keputusan tersebut, GKK alias KA secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian perusahaan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero,” ujar Firli.
Firli menambahkan pengambilan keputusan yang dilakukan Karen juga dinilai bertentangan dan melawan persetujuan pemerintah saat itu.
“Selain itu pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam hal ini pemerintah tidak dilakukan sama sekali sehingga tindakan GKK alias KA tidak mendapatkan restu dari persetujuan pemerintah saat itu,” tutur Firli.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya