Jakarta –
Pemprov DKI Jakarta berencana menerapkan tiket berbasis akun atau account based ticketing (ABT) di LRT, MRT, TransJakarta (TransJ). Penerapan tiket berbasis akun dinilai tak relevan dengan upaya mengurangi jumlah kendaraan pribadi di jalan.
“Tentu rencana itu tidak relevan dengan upaya agar masyarakat berpindah dari kendaraan peribadi untuk menggunakan transportasi angkutan umum maka ide atau rencana itu sebaiknya tidak dilakukan,” kata Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW) Edison Siahaan saat dihubungi, Sabtu (23/9/2023).
Edison juga meyakini wacana penerapan ABT berpotensi menimbulkan polemik di mata masyarakat. Pasalnya, tiket berbasis akun dinilai diskriminatif karena tarif akan ditentukan berdasarkan hasil pemetaan profil (profilling) penumpang.
“Bukan hanya potensi menimbulkan pro-kontra, penerapan tiket dengan sistem akun dan tarifnya berdasarkan profil sangat tidak berdasar dan beraroma diskriminatif,” jelasnya.
Edison mengkritik langkah yang diambil pemerintah selalu mencari keuntungan dengan mengesampingkan layanan publik terjangkau bagi masyarakat.
“Rencana yang akan diterapkan itu adalah akibat dari cara atau prinsip pemerintah mengelola transportasi umum berdasarkan layanan profit sehingga otaknya selalu berfikir bagaimana mendapat untung sebanyak banyaknya. Padahal menyiapkan transportasi umum adalah layanan publik yang wajib diwujudkan pemerintah,” tegasnya.
Edison juga mengingatkan bahwa penetapan tarif angkutan umum yang melayani antar kota mesti ditetapkan oleh menteri. Sementara gubernur untuk wilayah yang melampaui batas kabupaten. Hal tersebut merujuk pada Pasal 182 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
“Disebutkan penentuan tarif kelas ekonomi untuk angkutan orang yg melayani trayek antar kota yang wilayahnya melampaui wilayah provinsi ditetapkan oleh menteri. Sedangkan Gubernur untuk wilayah yang melampai batas kabupaten. Sementara Bupati untuk tarif angkutan perkotaan dalam wilayah kabupaten. Sedangkan tarif penumpang dalam trayek kelas non ekonomi ditetapkan oleh perusahaan angkutan umum,” jelasnya.
Sementara pakar transportasi Universitas Indonesia (UI), Ellen Tangkudung, menilai penerapan tiket berbasis akun bisa meringankan subsidi tiket yang selama ini digelontorkan oleh Pemprov DKI terhadap ketiga mode transportasi tersebut. Dengan adanya profilling, dapat diketahui penumpang mana yang berhak mendapatkan subsidi tiket.
“Walaupun tujuannya bukan hanya itu tapi salah satunya bisa seperti itu, bisa mengurangi. Karena bisa di-profilling, diketahui seperti apa pengguna perjalanan di Jakarta ini sehingga bisa cocok,” kata Ellen.
“Kalau subsidi diberikan kepada orang yang punya rumah mewah nggak akan cocok. Jadi harus bisa saling mengisi dan bisa menandakan kalau sudah ada profiling-nya, mana mereka yang tinggal di Jakarta yang (berhak) disubsidi oleh Pemda DKI, dan mana yang luar Jakarta yang tak harus disubsidi Pemda DKI. Karena pajak mereka masuk ke DKI,” sambung dia.
Ellen berujar sejauh ini, beberapa kota maupun negara di dunia telah lebih dulu menerapkan sistem serupa. Seperti misalnya di Singapura yang memberlakukan tarif berbeda terhadap turis luar dan warga lokal. Maupun di Inggris yang menggratiskan tarif bagi warga lanjut usia (lansia) di waktu tertentu.
“(ABT) dengan nama lain ada, negara lain di kota-kota besar seperti itu. Saya tidak tahu detail, contohnya di Singapura mereka bisa membedakan orang yang melakukan kegiatan atau perjalanan setiap hari dengan turis atau di beberapa negara Eropa sudah lama menerapkan, misal di Inggris, pada jam tertentu antara jam 10-2 siang lansia bisa gratis saat melakukan perjalanan,” terangnya.
Jika tiket transportasi umum di Jakarta berbasis akun, maka satu orang penumpang hanya bisa menggunakan satu akun. Menurutnya, fitur ini juga dapat mendukung penerapan tarif integrasi di mana penumpang bisa dengan mudah berpindah-pindah mode transportasi umum.
“Jadi sebenarnya menguntungkan untuk masyarakat karena tarif akan disesuaikan dengan perjalanan orang, baik satu kali atau dua kali pindah. Perjalanan orang yang seperti itu akan didasari oleh info atau data tentang kependudukan mereka. Misal apakah mereka anak-anak, mahasiswa atau pekerja atau pecinan, dan seperti itu. Karena masalahnya memang di subsidi, subsidi di DKI ini kan diberikan kepada semua orang, dari sisi transportasi,” jelasnya.
Tiket Berbasis Akun Diuji Coba di TransJ-MRT-LRT
Seperti diketahui, Pemprov DKI Jakarta menguji coba penerapan Account Based Ticketing (ABT) untuk tiga moda transportasi umum, yakni LRT, MRT dan TransJakarta. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menjelaskan tujuan dari penerapan tiket berbasis akun supaya subsidi tiket yang digelontorkan di tiga mode transportasi publik milik DKI itu lebih tepat sasaran.
Sebab, saat ini tarif subsidi diterapkan untuk seluruh masyarakat yang menggunakan LRT, MRT dan TransJakarta, baik warga KTP DKI maupun non-KTP DKI. Nantinya, sistem ini akan memberikan gambaran pengguna LRT, MRT dan TransJakarta.
Sekadar informasi, saat ini tarif TransJakarta yang diberlakukan sebesar Rp 3.500 untuk satu kali perjalanan berlaku sama untuk jarak jauh maupun jarak dekat (flat). Sama halnya dengan TransJakarta, LRT DKI juga menerapkan tarif flat sebesar Rp 5.000 untuk sekali perjalanan. Sementara tarif MRT Jakarta berkisar antara Rp 3.000-14.000 tergantung jarak tempuh.
“ABT tentu akan untuk 3 moda. Dari ABT ini kita akan mendapatkan profiling seluruh pengguna angkutan umum massal kita apakah TJ, MRT, dan LRT yang kemudian akan jadi perhitungan untuk efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pemberian PSO ke depannya,” kata Syafrin Liputo kepada di sela rapat pembahasan APBD-P 2023 di Grand Cempaka Resort, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/9) lalu.
(taa/jbr)