Jakarta –
Terdakwa korupsi pembangunan Pasar Grogol, Tubagus Dikrie Maulawardhana yang juga Asda II Kota Cilegon menyebut dakwaan penuntut umum keliru. Ia memohon hakim menerima eksepsinya karena alasan dakwaan yang tidak jelas.
Dikrie didakwa melakukan korupsi pembangunan Pasar Grogol yang merugikan negara Rp 966 juta karena gagal bangun. Terdakwa lain dalam perkara ini adalah Bagus Ardanto sebagai PNS dan Septer Edward Sihol sebagai kontraktor pengguna perusahaan CV Edo Putra Pratama.
Dalam eksepsinya, Dikrie mengatakan, dakwaan penuntut umum tidak lengkap dalam uraiannya. Mestinya yang bertanggungjawab dalam gagal pembangunan Pasar Grogol adalah CV Edo Putra Pratama. Selain itu, dakwaan juga tidak menguraikan bagaimana dirinya sebagai Pengguna Anggaran atau PA mendapatkan untung dalam proyek senilai Rp 2 miliar itu.
“Dari uraian di atas penuntut umum keliru, mohon kiranya majelis hakim menyatakan dakwaan tidak dapat diterima,” kata Dikrie melalui kuasa hukumnya di Pengadilan Tipikor Serang, Senin (2/10/2023).
Kedua terdakwa lain yaitu Bagus Ardanto dan Septer Edward Sihol juga menyatakan keberatan atas dakwaan penuntut umum. Mereka menyebut alasan yang sama bahwa dakwaan terhadapnya dianggap tidak cermat, lengkap dan jelas. Mereka memohon dibebaskan dari dakwaan.
“Menyatakan perkara atas nama Bagus Ardanto tidak diperiksa lebih lanjut,” kata kuasa hukum terdakwa Bagus bergantian.
Dalam dakwaannya, JPU Achmad Afriansyah pekan lalu menyatakan bahwa proyek pembangunan Pasar Grogol dilakukan pada 2018. Terdakwa Dikrie mengajukan proposal pembangunan tiga pasar ke Kementerian Perdagangan yang dibiayai oleh Dana Alokasi Khusus (DAK) melalui APBN. Proposal nilainya mencapai Rp 20 miliar. Salah satunya adalah Pasar Grogol di Kelurahan Rawa Arum.
Kementerian lalu menyetujui proposal itu dan memberikan Rp 4,5 miliar. Output dari DAK itu adalah pembangunan 4 pasar. Pasar Grogol mendapatkan alokasi pembangunan Rp 2 miliar.
Dikrie kemudian menunjuk Bagus Ardianto sebagai PPK dalam pembangunan Pasar Grogol. Selain itu, ditunjuk juga perusahaan konsultan untuk melakukan perencanaan. Di situ, lokasi pasar yang tadinya di Rawa Arum dipindah ke Perumahan Argabaja. Padahal, lokasi sendiri mestinya berada di tanah milik negara dalam hal ini Pemkot Cilegon.
Pemkot lalu mengadakan lelang dengan diikuti 31 perusahaan. Namun hanya 3 perusahaan yang lolos kualifikasi dan dimenangkan oleh CV Edo Putra Pratama. CV ini adalah milik orang lain namun digunakan oleh terdakwa Septer.
Terdakwa Septer, lalu kembali mengubah lokasi Pasar Grogol dari Rawa Arum ke perumahan Puri Krakatau Hijau. Digunakan ruang terbuka hijau milik perumahan itu sebagai lokasi pembangunan pasar sepengetahuan dari para terdakwa.
“Terdakwa sebagai PA dan Bagus sebagai PPK mengetahui pelanggaran yang dilakukan oleh Septer namun justru membiarkan,” ujar jaksa.
Dinas juga kata jaksa melakukan pembayaran sebanyak dua termin. Masing-masing 30 persen sebagai uang muka dan 60 persen untuk pembayaran kedua. Padahal hasil pekerjaan belum terpenuhi.
“Terdakwa selaku PA tidak mencegah terjadinya kerugian penggunaan DAK dalam pembangunan pasar rakyat Grogol,” ujarnya.
Bahkan, bangunan pasar yang dibangun juga tidak bisa digunakan. Termasuk ada kerusakan bangunan pasar. Berdasarkan audit dari Inspektorat Banten, terjadi kerugian negara dari pembangunan ini yang nilainya Rp 966 juta.
“Pekerjaan konstruksi tidak dilaksanakan sesuai rencana maupun kualitas hasil pekerjaan,” ujarnya.
Perbuatan para terdakwa ini sebagaimana diancam Pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 Undang-undang TIndak Pidana Korupsi. Ketiga terdakwa mengajukan eksepsi atas dakwaan yang dibacakan penuntut umum.
(bri/isa)