Jakarta –
Angin September kali ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, memasuki bulan tua di penghujung tahun, hawa hujan nan lembab membuat kulit terasa lengket oleh saripati garam lautan Pasifik yang terangkat akibat terik matahari. Kadang kala, hujan deras bisa turun beberapa kali sehari meski dalam durasi singkat.
Penghujung September ini menjadi waktu istimewa bagi anak Mapia. Pada cuaca semacam ini, mereka tidak was-was terguyur hujan saat belajar di kelas. Sebab meski terlihat kokoh dari luar, bangunan SD Mapia sebenarnya telah rapuh. Atapnya pun sudah amburadul akibat lapuk. Dari dalam, langit-langit kelasnya pun sudah tidak lagi elok. Bisa dibayangkan, bila hujan turun, tetesan air akan menembus celah-celah genteng yang tidak lagi rapat. Ditambah lagi, ruangan itu tidak lagi dilengkapi pintu dan jendela, air hujan akan leluasa masuk dari berbagai arah.
Meski begitu, tidak ada anak Mapia yang menggunakan kondisi ini sebagai alasan untuk lari dari bangku sekolah. Minat mereka pada ilmu pengetahuan tidak hanya berhenti pada buku-buku kusam yang tertumpuk di atas kursi dekat meja guru. Mereka tahu pasti, pendidikan adalah jalan keluar agar tidak bernasib sama seperti ayah ibunya yang bekerja sebagai nelayan atau petani kopra.
Hidup di atas bentala yang diapit oleh Samudra Pasifik, anak-anak Mapia tidak memiliki pilihan untuk mendapatkan informasi maupun pendidikan. Satu-satunya institusi yang bisa mereka dapatkan adalah Sekolah Dasar yang berdiri di pusat pulau.
Situasi mulai berubah saat para siswa SD Mapia sudah duduk di bangku kelas lima. Jelang tamat, anak-anak berumur belasan ini sudah harus siap memutuskan akan tetap tinggal di Mapia atau melanjutkan sekolah di luar pulau.
Jarak ratusan kilometer serta transportasi laut yang tidak tersedia setiap hari membuat mereka harus hijrah ke Papua. Cendra Arius, Kepala desa Kampung Mapia mengatakan bahwa jarak Mapia ke Biak sekitar 240 kilometer. Sedangkan pelayaran hanya dijadwalkan 2 minggu sekali, itu pun jika cuaca di lautan cukup bersahabat.
Cendra mengakui, eksodus anak-anak belia untuk pendidikan adalah hal lumrah di kampungnya. Meski demikian, ia tetap berharap agar fasilitas pendidikan tingkat lanjut bisa segera tersedia.
“Mapia ini masuk di dalam wilayah hukum Kabupaten Supiori. Berhubung akses pelayaran kita menghubungkan, ini kita sudah lintas kabupaten,” terang Cendra kepada tim Sudut pandang yang tergabung dalam Ekspedisi Mapia 2023 bersama Kementerian Sosial dan TNI AL Koarmada llli KRI Wahidin Sudirohusodo 991 pada 10 September lalu.
Kalimat yang dilontarkan Cendra memiliki makna lain. Menilik skema baru dalam peraturan Kementerian Pendidikan, ada beberapa hal yang menjadi hambatan. Cendra mengatakan, bukan hanya jauh dari orang tua saja yang menjadi kendala anak-anak Mapia dalam mengejar ilmu, melainkan ada hak yang sulit mereka dapatkan.
“Jadi ketika anak-anak kita yang sudah tamat dari SD ini sampai ke Biak, kita sudah lintas kabupaten. Jadi hak-hak yang macam afirmasi itu mereka kehilangan di kabupaten Supiori atau Biak. Kecuali anak-anak kita itu disekolahkan di kabupaten Supiori, tapi Supiori masih sulit untuk punya akses,” terangnya.
Menteri Sosial Tri Rismaharini pasca-melawat ke Mapia mengatakan bahwa dirinya telah berkoordinasi dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi terkait kendala aksesibilitas yang dihadapi masyarakat Mapia.
Selain itu, Risma juga memahami bahwa perkembangan anak di usia muda sangat membutuhkan keberadaan orang tua. Lebih lanjut, ia mengatakan akan mencari jalan keluar guna menjaga kesehatan mental anak-anak yang harus tinggal jauh dari kampung halaman.
“Saya akan coba nanti komunikasi dengan psikolog, saya juga akan komunikasi dengan ahli-ahli mungkin apa bisa digunakan teknologi, apa itu mungkin dengan teknologi mereka bisa belajar jarak jauh karena tidak semua, saya yakin tidak semua orang tuanya juga mampu membayar untuk mereka pergi sekolah jarak sejauh itu,” ungkap Risma.
(vys/vys)