Jakarta –
Film dokumenter Ice Cold tentang pembunuhan Wayan Mirna Salihin oleh Jessica Kumala Wongso menggunakan sianida yang dicampur kopi ramai dibahas. Ketua Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF), Rommy Fibri, mengatakan film tak dapat disamakan dengan fakta hukum.
“Melihat film tak bisa langsung seperti fakta hukum, walaupun ada banyak footage gambar di persidangan. Karena footage (video) persidangan itu terbuka, tetapi fakta hukumnya juga cerita tersendiri,” kata Rommy Fibri kepada wartawan, Sabtu (7/10/2023).
Rommy mengaku memperhatikan komentar-komentar warganet di media sosial (medsos) yang ikut narasi dalam film soal Jessica yang tak mengakui menaruh racun sampai vonis diputuskan hakim.
Rommy mengatakan film berbeda dengan fakta. Menurutnya, dalam film dokumenter pun narasumber yang dihadirkan bisa melihat dari sudut pandang masing-masing.
“Maka dalam sebuah film, tak bisa dijadikan rujukan sebuah kasus. Film tak bisa langsung otomatis bertentangan dengan kasus hukum. Karena yang membuat adegan di dalam film dengan versi si pembuatnya,” ujar Romny.
Sementara, di dalam hukum acara pidana, dalam penanganan suatu kasus, polisi melakukan penyidikan dan kemudian disampaikan jaksa di pengadilan.
Menurutnya, selama tak ada fakta baru yang berbeda dengan apa yang sudah diputuskan oleh pengadilan, narasi dalam film Ice Cold hanya menjadi cerita saja. Terlebih, dia mengatakan kasus tersebut sudah sudah sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Dia mengatakan karya film berbeda dengan karya jurnalistik. Dia melihat di dalam Ice Cold lebih pada perdebatan versi masing-masing pihak itu cukup menarik.
“Berbeda misalnya karya jurnalistik liputan investigasi yang mampu menghadirkan neo factum, atau fakta baru. Itu pun hanya menjadi catatan saja. Tidak otomatis bisa membuka (menggugat) putusan pengadilan. Kasus hukum bisa dibuka kembali jika ada temuan fakta baru,” ujar mantan wartawan Majalah Tempo ini.
Menurut Rommy, di dalam film, sutradara bisa memunculkan penggambaran versinya. Narasumber pun juga dengan versinya masing-masing.
“Penting untuk mencermati, terutama mereka yang terlibat polemik setelah menonton Film Ice Cold yang tayang di Netflix. Penonton harus bisa membedakan apa itu fakta hukum sebagai realitas yang utuh dengan penggambaran film, yang bisa memiliki angle yang berbeda,” ujar dia.
(jbr/hri)