Jakarta –
Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengatakan hak pendidikan bagi penghayat kepercayaan sudah diatur dalam regulasi. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mendapatkan layanan pendidikan.
“Kami terus berikhtiar untuk memperkuat kesempatan sekaligus memberikan akses yang sama kepada penghayat kepercayaan untuk mendapatkan layanan pendidikan, termasuk layanan pendidikan agama atau kepercayaan sesuai dengan yang dianut di tiap satuan pendidikan, tanpa ada paksaan untuk mengamalkan kepercayaan tertentu,” kata Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek Rusprita Putri pada diskusi dengan tema “Kenal Lebih Dekat dengan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” di Jakarta, Sabtu (14/10/2023) seperti dilansir Antara.
Beberapa regulasi itu adalah Permendikbud No. 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan serta Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Namun, ia mengakui, masih banyak perlakuan diskriminatif dialami oleh penghayat kepercayaan di lingkungan satuan pendidikan hingga saat ini. Situasi yang demikian, menurut dia,karena sosialisasi yang masih kurang masif terkait dengan hak layanan pendidikan bagi penghayat kepercayaan.
“Perilaku diskriminatif seringkali terjadi karena ketidaktahuan dan juga ketidakpahaman dari masyarakat serta pemangku kepentingan pendidikan yang belum tersosialisasi dengan baik,” ujarnya.
Oleh karena itu, Rusprita mengemukakan perlu sinkronisasi dan kolaborasi secara berkesinambungan antara satuan Dinas Pendidikan, Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), penyuluh, hingga tenaga pendidik di tingkat sekolah, agar komunikasi dan diseminasi informasi dapat berjalan dengan baik.
Kolaborasi tersebut, katanya, salah satunya melalui produksi konten digital dan edukasi dalam bentuk webinar yang membahas seputar kondisi dan aktivitas penghayat kepercayaan saat ini.
Pusat Penguatan Karakter bersama dengan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat dan MLKI menyelenggarakan webinar Forum Belajar Kebhinekaan Episode 3 bertajuk Kenal Lebih Dekat dengan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
“Harapan saya, webinar ini menjadi sumber informasi seputar perangkat maupun regulasi pendukung layanan pendidikan bagi penghayat kepercayaan sehingga dapat menghilangkan perilaku diskriminatif terhadap peserta maupun tenaga pendidik penghayat kepercayaan di lingkungan satuan pendidikan,” kata dia.
Pada forum itu, pihaknya juga menjelaskan terkait dengan regulasi yang menjamin keberadaan penghayat kepercayaan selain Undang-Undang Dasar 1945, yakni putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.
Putusan itu menyatakan kata “agama” pada undang-undang administrasi kependudukan harus dimaknai, termasuk kepercayaan, sehingga penghayat kepercayaan sebagai warga negara Indonesia mempunyai hak untuk mendapatkan layanan yang sama dan terjamin kesejahteraan sosialnya.
Akan tetapi, pihaknya mengakui penerapan putusan tersebut memiliki tantangan, seperti dalam pemenuhan hak mendapatkan pendidikan yang layak dan inklusif. Pasalnya, masih banyak penghayat kepercayaan yang mengalami diskriminasi dalam hal pendidikan, kepercayaan serta perundingan di lingkungan satuan pendidikan.
Oleh karena itu, Rusprita menyatakan terus menggiatkan kolaborasi dan sinergi, utamanya satuan Dinas Pendidikan, Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), penyuluh, hingga tenaga pendidik di tingkat sekolah agar edukasi dan literasi terkait dengan penghayat kepercayaan dapat terus berlanjut.
(imk/imk)