Jakarta –
Mahkamah Konstitusi (MK) meminta pemohon gugatan orang kerabat anggota DPR/Presiden tak bisa jadi hakim konstitusi menguraikan argumennya. Pemohon juga diminta menambahkan hasil penelitian demi memperkuat argumentasinya.
Sebagaimana diketahui, warga Lebak, Banten, Mochamad Adhi Tiawarman, meminta agar UU MK di-review sehingga orang yang punya hubungan darah/semenda dengan anggota DPR/Presiden tidak bisa jadi hakim konstitusi.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan Pemohon harus menguraikan dalam permohonan mengenai kerugian Pemohon apakah bersifat potensial atau aktual. Apabila kerugian Pemohon bersifat potensial, maka ada kemungkinan bisa tidak terjadi. Sedangkan, jika kerugian Pemohon bersifat aktual, maka hal ini dialami langsung oleh Pemohon.
“Itu harus Anda uraikan, tetapi ini harus berkaitan, karena ini bicara soal syarat calon hakim MK. Anda cek dulu dari Pemohonnya itu. Kira-kira terkoneksi tidak dengan syarat yang ada di sini. Sehingga memang ada anggapan kerugian di sini sekalipun potensial. Kalau tidak ada (kerugian) ya tidak bisa dilihat soal pokok (permohonannya). Berhenti hanya di legal standing. Itu yang harus Anda perhatikan, memang belum diuraikan di sini baru cerita hal-hal di luar itu,” kata Enny sebagaimana dilansir website MK, Minggu (15/10/2023).
Sementara Hakim Konstitusi Daniel meminta Adhi untuk memperkuat bangun argumentasinya dengan menambahkan hasil penelitian atau perbandingan dengan negara lain.
“Kalau di negara lain apakah syarat negarawan ada atau tidak. Karena kita lihat dalam kaitan dengan khususnya pengujian UU ini lebih ke norma umum yang abstrak. Tetapi tidak bisa dipungkiri juga kalau dalam kaitan dengan sengketa perselisihan hasil pemilu itu ada irisan kepentingannya juga pilkada maupun pilpres. Ini juga harus bisa menyakinkan hakim mengapa ini harus mundur dan sebagainya,” kata Daniel.
Sedangkan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah mengatakan perlu diketahui bahwa Presiden dan DPR itu bukan pihak dalam pengujian UU di MK, tetapi sebagai pemberi keterangan.
“Tolong nanti dalam permohonan Saudara bisa dibuat sedemikian rupa supaya bisa ketahuan bahwa kaitannya dengan konflik kepentingan itu memang ada konflik kepentingan dengan pihak. Karena sejatinya DPR dan Presiden bukan pihak. Itu perlu dielaborasi lagi, perlu dipertajam. Kalau permohonan ini dikabulkan anda kan tidak mempersoalkan norma pasal 15 ayat (2) ini. Tetapi ingin menambahkan norma baru, ini juga perlu dielaborasi lagi karena kan kerugian konstitusional itu dengan berlakunya norma. Normanya ini yang mana? Karena kalau berlakunya norma ini sepertinya tidak ada kerugian konstitusional pemohon tetapi anda ingin menambahkan norma,” terang Guntur.
Sebagaimana diketahui, Adhi menggugat Pasal 15 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi (UU MK). Adhi memberikan kuasa kepada Muhammad Zen Al-Faqih. Zen menjelaskan hak-hak konstitusional Pemohon dirugikan secara spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya berpotensi dilanggar dengan berlakunya norma yang terdapat di dalam Pasal 15 ayat (2) UU MK. Menurutnya, norma Pasal 15 ayat (2) UU MK nyata dan jelas tidak selaras dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang telah mengatur dengan jelas bahwa Ketua Majelis Hakim dan Hakim Anggota wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang diadili.
“Berdasarkan kenyataan hukum, dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, kedudukan Presiden dan DPR merupakan pihak yang berkepentingan secara langsung,” kata Zen.
Menurutnya, selama adanya perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dan dalam proses pengujian undang-undang di MK, Presiden dan DPR akan mempertahankan keberlakuan undang-undang dan norma yang terdapat di dalam undang-undang. Ia menyebut, dalam rangka menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka dan independensi hakim konstitusi serta melindungi hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh konstitusi, maka seorang hakim konstitusi harus terbebas dari hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang berkepentingan secara langsung dengan objectum litis (objek yang diadili) in casu terbebas dari hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR.
Zen menilai Pemohon tidak mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil jika permohonan Pemohon ini diadili oleh hakim konstitusi yang memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang berkepentingan secara langsung dengan objectum litis (objek yang diadili) in casu terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU MK konstitusional bersyarat.
“Pasal 15 ayat (2) UU MK tidak bertentangan dengan UUDv1945 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat: i. tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR’,” kata Zen.
(rdp/dhn)