Dewan Pimpinan Pusat Advokasi Rakyat untuk Nusantara (DPP ARUN) mengadukan hakim konstitusi Saldi Isra ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Ketua Umum DPP ARUN Bob Hasan menilai pernyataan Saldi Isra tak dapat dikatakan sebagai dissenting opinion.
“Itu bukan bentuk dissenting opinion. Amar putusan harus ditaati. Namun demikian, akibat dari dissenting opinion yang subjektif dan membunuh karakter hakim konstitusi lain. Itu yang kita laporkan,” kata Bob kepada wartawan di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (19/10/2023).
Bob lantas menyoroti ucapan Saldi dalam pertimbangannya yang mengaku heran atas perubahan putusan MK yang dinilai sangat cepat. Dia mengatakan hal itu justru mempengaruhi persepsi publik terhadap putusan MK.
“Karena itu, DPP ARUN melaporkan hakim konstitusi ini yang telah menyatakan sesuatu yang bisa meluluhlantakkan marwah MK,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Bidang Hukum ARUN Yudi Rijali Muslim mengatakan putusan MK lahir dari serangkaian proses sidang. Menurutnya, putusan seyogianya telah didiskusikan secara matang oleh para hakim konstitusi.
“Padahal sudah sedari awal permohonan judicial review ini tentu melalui proses perbaikan, lalu kemudian pembacaan, terus kemudian lanjut kepada saksi-saksi, bahkan kemudian ahli,” jelasnya.
“Artinya opini yang disampaikan oleh Profesor Saldi Isra pada kesempatan kemarin dalam putusan, seolah-olah mengesampingkan proses persidangan yang telah dilalui oleh seluruh majelis mahkamah konstitusi,” sambungnya.
Lebih lanjut, menurutnya, ucapan Saldi terkait kebingungannya atas putusan itu terkesan provokatif sehingga menyebabkan publik gagal paham akan putusan MK.
“Akhirnya masyarakat tidak bisa mampu mencerna secara baik isi putusan, begitu juga dalam proses rangkaian, proses persidangan, yang masyarakat tahu adalah statement-nya beliau,” imbuh Yudi.
“Itulah kemudian yang dijadikan sebagai meme-meme sehingga akhirnya opini di masyarakat kesannya adalah mengkreditnya ‘Mahkamah Konstitusi’ menjadi ‘Mahkamah Keluarga’. Kemudian Mahkamah kesannya kemudian tidak ada marwah dalam proses penegakan hukum,” ucapnya.
detikcom mencoba mengkonfirmasi perihal pengaduan tersebut kepada Juru Bicara (Jubir) Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono. Namun, belum ada respons.
Pernyataan Saldi Isra
Empat hakim konstitusi berbeda pendapat atau dissenting opinion dalam putusan ini. Hakim konstitusi tersebut ialah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo. Dalam pertimbangnnya, Saldi Isra mengaku heran atas perubahan putusan MK yang dinilai sangat cepat.
“Saya hakim konstitusi Saldi Isra memiliki pandangan berbeda atau dissenting opinion. Menimbang bahwa terhadap norma yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang 7/2017 amar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 a quo menyatakan ‘persyaratan menjadi calon presiden dan wapres adalah q: berusia paling renda 40 tahun’, dimaknai menjadi ‘persyaratan menjadi capres dan cawapres adalah q ‘berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pilihan kepala daerah’,” ujar Saldi Isra di sidang MK, Senin (16/10/2023).
Saldi, yang juga Wakil Ketua MK, mengaku bingung soal adanya penentuan perubahan keputusan MK dengan cepat. Menurutnya, hal tersebut jauh dari batas penalaran yang wajar.
“Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini. Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai hakim konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa ‘aneh’ yang ‘luar biasa’ dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” paparnya.
“Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU XXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentukan undang-undang untuk mengubahnya. Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang,” sambungnya.