Jakarta –
Delapan orang perwakilan Tim Indonesia berangkat ke Cambridge, Massachusetts untuk mengikuti program MIT REAP (Regional Entrepreneurship Acceleration Program). Program ini dibangun MIT (Massachusetts Institute of Technology) untuk mendampingi negara-negara yang ingin membangun ekosistem inovasi di wilayahnya.
Program ini diketahui dilakukan sejak 25 hingga 27 Oktober 2023. Menurut MIT, yang telah berpengalaman membangun ekosistem inovasi serupa di lebih dari 80 negara, ekosistem inovasi seperti ini dapat dicapai dengan melibatkan lima pemangku kepentingan untuk berkolaborasi, beberapa diantaranya pemerintah, swasta/korporasi, venture capital/investor, wirausahawan, dan universitas.
“Tim Indonesia ini saya rasa sudah diwakili oleh perwakilan paling kompeten dari masing-masing pemangku kepentingan,” ujar Manajer Tim MIT REAP Java Indonesia, Marina Kusumawardhani, dalam keterangannya, Sabtu (28/10/2023).
“Seperti para champion/pemimpin tim ini, Prof Nizam, Dirjen Dikti Kemendibud Ristek sebagai perwakilan pemerintah, dan Salman Subakat, CEO NSEI/Paragon sebagai perwakilan swasta,” sambungnya.
Lantas apa tujuan utama membangun ekosistem inovasi di Indonesia? Ketua dan perwakilan BNI Ventures dan Amvesindo (Asosiasi Modal Ventura Indonesia), Eddi Danusaputro, mengatakan hal ini untuk meningkatkan kapasitas inovasi dan menciptakan lapangan kerja.
“Ya tujuan akhirnya tentunya untuk meningkatkan kapasitas inovasi di Indonesia, yang pada akhirnya akan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak,” ujar Eddi Danusaputro.
Sebuah perusahaan teknologi, misalnya, tidak hanya akan menyerap tenaga kerja, tapi juga melahirkan usaha-usaha lainnya di sekitar lokasi usaha tersebut, dari restoran hingga binatu.
“Kami belajar bahwa entrepreneurship yang berbasis inovasi itu memiliki dampak yang lebih besar, termasuk lapangan kerja yang lebih tinggi, dibandingkan dengan entrepreneurship tradisional,” ujar Ainun Najib, yang merupakan ilmuwan data di dalam tim ini.
“Menurut pengukuran awal sekarang, didapati bahwa kapasitas inovasi di Indonesia itu memang masih lebih rendah dibandingkan dengan kapasitas entrepreneurship tradisional ini,” tuturnya.
Selain itu, disebutkan, dalam dua tahun ke depan, akan didalami cara meningkatkan kapasitas inovasi di Indonesia dengan bimbingan para profesor MIT. Dalam hal ini disebut, dibutuhkan peran universitas-universitas di Indonesia, seperti UGM, yang diwakili oleh Dr. Yoyo Suhoyo dan Wakil Rektor Prof Supriyadi di dalam tim ini.
Dibutuhkan pula kerjasama antara riset dan industri yang semakin diperkuat, seperti yang telah dilakukan oleh Kemendikbud Ristek selama beberapa tahun ini melalui program Kedaireka dan Wirausaha Merdeka. Posisi kerjasama industri dan riset Indonesia saat ini berada di peringkat kelima di dunia karena program-program ini. Selain Prof. Nizam, Kemendikbud Ristek diwakili oleh Pramoda Dei Sudarmo dan Achmad Adhitya.
“Untuk mewujudkan inovasi ekosistem seperti ini tentunya akan membutuhkan dukungan dan antusiasme banyak pihak, terutama anak-anak muda. Kami telah membuka jalan ini antara MIT dan Indonesia, dan kami mengundang siapapun yang ingin mewujudkan ekosistem inovasi ini untuk bergabung selama 2 tahun ke depan,” ujar Salman Subakat.
(dwia/dwia)