Jakarta –
Israel dan Palestina sedang berperang. Indonesia menyatakan sikap mendukung solusi dua negara atau ‘two-state solution‘, yakni mendukung pendirian Negara Palestina dan Negara Israel yang saling berdampingan dengan damai. Di luar itu, ada pula ide ‘satu negara’ atau ‘one-state solution’.
Edward Said, aktivis politik Palestina-Amerika dan pemikir studi post-colonial, mengemukakan ‘one-state solution’ adalah solusi terbaik untuk konflik Israel dan Palestina. Dalam tulisannya di The New York Times, 10 Januari 1999, dia membayangkan pendirian satu negara baru yang tanpa diskriminasi dan memperlakukan Yahudi dan Arab secara setara.
Namun negara ini adalah negara demokratis dan sekular, tidak lagi mengusung konsep-konsep sektarian yang selama ini juga mewarnai konflik Israel-Palestina. Konsep Zionisme adalah konsep berbahaya yang perlu dikikis. Nantinya, orang yang tinggal di situ tidak lagi menjadi anggota etnis atau ras, tapi menjadi warga negara yang hidup bersama.
“Baik gagasan tentang Israel Raya sebagai tanah orang-orang Yahudi yang diberikan Tuhan kepada mereka maupun tentang Palestina sebagai tanah Arab yang tidak dapat diasingkan dari tanah air Arab perlu dikurangi skala dan eksklusivitasnya,” tulis Edward Said.
Dia berkaca pada situasi politik apartheid (rasisme) di Afrika Selatan. Bila Afsel bisa berusaha mewujudkan negara yang demokratis dan tidak lagi rasis, Israel dan Palestina juga harus bisa. Edward Said mengakui bahwa orang Palestina adalah ‘korbannya korban’ karena menjadi korban atas Yahudi Zionis yang pada era 1940-an kena Holocaust oleh Nazi di Eropa. Juga, orang Palestina adalah ‘pengungsinya pengungsi’ karena menjadi pengungsi yang terdesak arus pendatang Yahudi dari Eropa yang mengungsi dari Holocaust, juga terdesak gerakan Zionisme.
Mungkinkah one state solution?
Dosen Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Riza Noer Arfani, mengatakan ‘two-state solution’ saja sudah sulit diwujudkan, apalagi ‘one-state solution’. Dia juga tidak menemukan kesamaan antara kondisi apartheid Afrika Selatan dengan Israel-Palestina.
“Konteksnya beda. Ketika Yahudi datang di wilayah tersebut, mereka memang bermaksud mendirikan negara. Di tahun 1947 terwujudlah Negara Israel dengan bantuan Inggris via Deklarasi Balfour (1917),” kata Riza kepada detikcom, Jumat (3/11/2023).
Dosen Fisipol UGM Riza Noer Arfani, Jumat (27/10/2023). Foto: Jauh Hari Wawan S/detikJogja
|
Dia menilai two-stae solution lebih masuk akal ketimbang one-state solution. Kecuali bila yang dimaksud ‘satu negara baru’ itu adalah negaranya Israel yang menghapuskan Palestina seluruhnya, mungkin itu bisa menjadi horor kemanusiaan yang tentu jangan sampai terjadi. Di sisi’ lain, ‘satu negara’ demokratis itu seperti utopia.
“One state solutionya mendirikan negara demokratis, itu lebih tidak mungkin lagi. Agak mustahil,” kata Riza.
Profesor Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), juga tidak memandang ‘one-state solution’ sebagai solusi nyata. Dia memperkirakan Palestina tidak mau membentuk satu negara demokratis bareng Israel.
“Palestina yang tidak mau pasti. Tanah rakyat Palestina kok di-share. Bagaimana pula bentuk pemerintahannya? Kan Israel mendirikan negaranya di atas tanah rakyat Palestina,” kata Hikmahanto.
Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana dalam diskusi ‘Warga Tanpa Warga Negara’ di kantor Para Syndicate, Jakarta, Jumat (19/8/2016) Foto: Ari Saputra
|
Adapun Hamas, faksi Palestina yang menguasai Jalur Gaza dan punya sayap paramiliter aktif, sebenarnya juga ingin mendirikan ‘one state’, tapi bukan negara demokratis melainkan Palestina saja. Hamas adalah organisasi Islamis. Iran, negara yang getol membela perlawanan terhadap Israel, juga menolak ‘two-state solution’.
“Palestina merentang dari sungai (Yordania) ke laut (Mediterania), tidak kurang,” kata pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dilansir Al Jazeera pada 2 Oktober 2011 silam.
PFLP atau Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina, faksi komunis di Palestina, menolak two-state solution. PFLP ingin mendirikan satu negara yang demokratis dan sekular. Anak Muammar Gaddafi dari Libya, yakni Saif Al Islam Gaddafi, pernah mengemukakan konsep one-state solution bernama ‘Isratin’ atau ‘Israel-Palestina’, yakni negara bi-nasional, sekular dan federal.
(dnu/isa)