Jakarta –
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) membacakan putusan nomor 2/ MKMK/L/11/2023 terkait laporan pelanggaran etik dengan terlapor Ketua MK Anwar Usman. Dalam pertimbangannya, Anggota MKMK Wahiduddin Adams mengatakan MKMK tidak memiliki wewenang dalam menilai putusan MK.
“Bahwa meskipun kewenangan Majelis Kehormatan menjangkau dan mencakup segala upaya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, tidak terdapat kewenangan Majelis Kehormatan untuk melakukan penilaian hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi, terlebih lagi turut mempersoalkan perihal keabsahan atau ketidakabsahan suatu Putusan Mahkamah Konstitusi,” kata Wahiduddin dalam sidang, di Gedung MK, Jakpus, Selasa (7/11/2023).
Dia mengatakan jika MKMK menyatakan berwenang dalam melakukan penilaian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi, maka pada saat bersamaan, Majelis Kehormatan bukan sedang menjalankan upaya menjaga dan menegakkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Dia mengatakan MKMK malah akan melampaui kewenangan dengan mendudukkan Majelis Kehormatan seakan memiliki superioritas legal tertentu terhadap Mahkamah Konstitusi.
“Bahwa posisi Majelis Kehormatan dengan superioritas legal tertentu adap Mahkamah Konstitusi tersebut akan sama artinya dengan Majelis Kehormatan melecehkan prinsip kemerdekaan yang melekat pada Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sekaligus melabrak sifat final dan mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
Dia mengatakan MKMK berpendirian menolak atau sekurang-kurangnya tidak mempertimbangkan isu dalam laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sepanjang berkaitan dengan permintaan Pelapor untuk melakukan penilaian.
“Penilaian itu berupa pembatalan, koreksi, atau meninjau kembali, terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi in casu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,” tuturnya.
“Termasuk juga dalam hal ini, Majelis Kehormatan tidak akan masuk melakukan penilaian terhadap aspek teknis yudisial Mahkamah Konstitusi in casu Hakim Konstitusi yang merupakan yang merupakan perwujudan pelaksanaan prinsip kemerdekaan hakim konstitusi,” imbuhnya.
Dalam kesimpulannya, MKMK menyatakan tidak berwenang menilai putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia capres-cawapres. Dalam putusan itu, warga Indonesia yang berusia di bawah 40 tahun dapat menjadi capres atau cawapres asalkan pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu/Pilkada.
“Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, in casu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,” ucap Ketua MKMK Jimly.
(haf/haf)