Jakarta –
Utang piutang menjadi hak keperdataan setiap orang. Namun bolehkah dipidana orang yang tidak membayar atau telat mencicil utang?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik’s Advocate. Pembaca lainnya bisa menanyakan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Berikut pertanyaan pembaca:
Saya, YAB
Mohon informasi untuk kendala yang saya alami. Di mana saya masih belum bisa melunasi sisa utang usaha kepada pemasok barang. Selama ini tidak ada masalah (masih terus melakukan pembayaran). Tetapi saat ini masih kesulitan sehingga masih ada sisa. Sang pemasok mengancam akan menempuh jalur hukum dengan pasal pidana.
Saya bingung di mana unsur pidananya sedangkan selama ini pembayaran lancar dan sisanya memang agak tersendat bahkan sebenarnya tidak ada akad tempo pembayaran. Mohon bantuannya (pencerahannya).
YAB
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik’s Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Chessa Ario Jani Purnomo, S.H., M.H. Berikut penjelasan lengkapnya:
Terima kasih atas pertanyaannya.
Pertama, bahwa nampak jelas yakni sisa hutang-piutang antara bapak/ibu YAB dan lawan transaksinya merupakan hubungan hukum perjanjian. Penulis hendak membuat jelas maksud hukum perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang yang disusun dan diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio berbunyi:
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.”
Dari segi ilmu hukum perdata, angka 1 (satu) dan angka 2 (dua) disebut syarat subjektif sedangkan angka 3 (tiga) dan angka 4 (empat) disebut syarat objektif. Menurut Subekti (1963) bahwa frasa “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” pada angka 1 (satu) di atas memiliki arti para subjek hukum yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju atau menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Ambil contoh, subjek hukum A sebagai penjual menerima sejumlah uang atas barang/jasa yang ia jual, sedangkan subjek hukum B sebagai pembeli menginginkan barang/jasanya si A. Selanjutnya, pada angka 2 (dua) di atas frasa “kecakapan untuk membuat suatu perikatan” memiliki makna subjek hukum atau para pihak dalam perjanjian sebagaimana angka 1 (satu) harus orang dewasa atau sehat pikirannya. Pada angka 3 (tiga) di atas, frasa “suatu hal tertentu” memiliki maksud ada hak dan kewajiban antara para subjek hukum atau para pihak yang diatur secara jelas. Jika kembali kepada contoh di atas bahwa kata “barang/jasa” maupun kata “sejumlah uang” mesti dibuat jelas atau terang. Terakhir, pada angka 4 (empat) di atas, frasa “suatu sebab yang halal” mempunyai penjelasan bahwa barnag/jasa bukan berasal dari hasil kejahatan atau sebab yang terlarang/tak patut.
Dalam pelaksanaan perjanjian sebagaimana dialami bapak/ibu YAB rupa-rupanya terjadi kesulitan untuk pelunasan hutang sehingga kondisi ini disebut sebagai wanprestasi (kelalaian), jenis-jenisnya sebagai berikut (Rohani, Gunawati & Narsudin, 2011):
• Sama sekali tidak memenuhi prestasi.
• Tidak tunai memenuhi prestasi.
• Terlambat memenuhi prestasi.
• Keliru memenuhi prestasi.
Kedua, pada titik ini, isu dan permasalahan hukum yang timbul adalah wanprestasi sebagaimana pertanyaan bapak/ibu YAB di atas maka tata cara penyelesaiannya dapat ditempuh melalui perdamaian seperti negosiasi/mediasi dan atau gugatan ganti rugi ke pengadilan.
Ketiga atau yang terakhir, akan tetapi jika perjanjian antara A dan B sebagaimana contoh di atas memiliki skema berikut: barang/jasa yang dijual oleh A kepada B tidak pernah ada (muncul unsur kebohongan, tipu muslihat atau keadaan palsu) dan B telah menyerahkan sejumlah uang kepada A. Ia bukan wanprestasi.
Sampai sini, ketentuan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disusun dan diterjemahkan oleh Moeljatno berbunyi:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedanigheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Demikian jawaban dari saya dan semoga bermanfaat.
Terima kasih.
Salam,
Chessa Ario Jani Purnomo, S.H., M.H.
Advokat/Kuasa Hukum Pajak pada Ario, Basyirah & Partners Law Firm
Dosen Pada Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Tentang detik’s Advocate
detik’s Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
|
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
(asp/asp)